<$BlogRSDUrl$>

Friday, March 05, 2004

DEMOKRASI TAK PERNAH JATUH DARI LANGIT 



Selalu menjadi keinginan para founding-fathers negeri kita untuk mendirikan negara berdasarkan hukum, atau dalam kata lain adalah negara yang demokratis.

Mereka punya sejumlah alasan atas sikap tersebut.

Pengalaman pribadi para founding fathers tersebut dengan pemerintahan kolonial Belanda, Jepang dan juga kerajaan-kerajaan lokal, telah mengajarkan mereka untuk tidak pernah mengulang hal-hal yang buruk dari masa lalu.

Cina pada saat Kuomintang berkuasa, bukanlah contoh tentang kehidupan yang demokratis. Demikian juga yang terjadi pada negara Britania Raya, di mana kelompok oposisi percaya bahwa mereka harus selalu mengkritik dengan sengit partai yang berkuasa, tepat atau tidak sasarannya, namun tetap loyal kepada negara.

Permodelan ala Britania Raya telah dijalankan oleh para founding fathers sejak masa revolusi hingga pertengahan tahun 1950-an. Sejak dari masa itu, demokrasi terpimpin diperkenalkan di sini, yang diikuti dengan model pemerintahan miiliter dengan kesatuan komando di bawah Demokrasi Pancasila.

Pada masa sekarang, kaum muda tak lagi percaya pada ketulusan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan sifat represif pemerintah untuk memajukan demokratisasi. Pola mana yang sesungguhnya mereka pilih masih belum juga dapat ditemukan. Dari lubuk hati mereka yang terdalam mereka tahu bahwa dalam negeri yang majemuk seperti Indonesia, dengan jumlah penduduk mencapai 200 juta orang, model asing yang akan diterapkan di sini bisa mengundang bahaya.

Pada satu sisi mereka sudah tidak tahan dengan rekayasa sosial dan politik selama 30 tahun terakhir ini. Generasi baru sekarang menghirup udara pandangan hidup Amerika, sadar atau tidak, meniru pola dan trend pembebasan seperti yang terjadi di Barat. Secara tidak langsung kondisi ini diciptakan oleh pemerintah lewat sejumlah bisnis besar ditengah-tengah gaya hidup komunitas yang diwariskan dari metode penguasaan oleh penjajahan tentara Jepang.

Anak muda berharap proses demokratisasi berjalan dengan alami, bahkan dapat juga diperdebatkan. Tetapi akan banyak masalah yang dihadapi jika demokrasi diterapkan di Indonesia.

Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 200 juta, yang tersebar di ribuan pulau dan terpisah oleh samudra luas akan selalu menjadi alasan kuat untuk melakukan tindakan tangan besi. Negara akan selalu berkata bahwa mereka membutuhkan kondisi sine qua non untuk menjamin keutuhan negara.

Tindakan represi selalu merupakan godaan untuk dipraktekkan. Sejumlah hal yang dikemukakan belakangan ini misalnya tentang keselamatan negara, walaupun tersembunyi di balik UU Darurat yang ada, akan dilaksanakan terus menerus dengan alasan mengamankan negara dari musuh-musuh yang tak kelihatan.

Negara-kota seperti di jaman Yunani Kuno yang memunculkan ide besar tentang demokrasi, ataupun negara kecil lain seperti Swiss, Denmark, Norwegia, Belanda dan Belgia, dapat dengan mudah mengadopsi sistem demokrasi, tapi negara yang berpenduduk 200 juta apakah juga bisa?

Negara India juga tak pernah disebut sebagai contoh yang baik untuk Indonesia. Di samping itu Malaysia dan Singapura, juga meragukan jika ingin disebut menganut sistem demokrasi sejati. Ternyata ada banyak variabel yang harus dipertimbangkan, khususnya yang menyangkut kondisi apakah suatu negara sudah demokratis atau belum.

Tetapi satu hal sudah jelas. Demokrasi membutuhkan masyarakat yang berpikir rasional. Bangsa yang demokratis adalah bangsa yang terdidik. Kebodohan, acuh tak acuh, atau manusia yang tak berpendidikan tidak akan pernah menghasilkan manusia yang sungguh-sungguh demokratis. Manusia yang beremosi tinggi amat mudah menghasilkan suasana chaos.

Sistem pendidikan yang demokratis akan memberi kesempatan pada para siswa untuk menggali ide baru, menjadi kreatif, kritis dan juga diberi kesempatan untuk menyampaikan pikiran dengan bebas. Kondisi ini akan membantu perkembangan pribadi siswa untuk menghargai fair-play.

Pendidikan juga didisain untuk mengajarkan siswa berpikir cerdas, dan tidak melihat dunia dengan pandangan yang naif, dengan hanya satu macam solusi untuk tiap persoalan. Demokrasi juga berarti emansipasi yang berawal sejak masa kecil, yang memberi peluang berkembangnya bakat-bakat pribadi. Pendidikan macam ini juga menghargai masing-masing individu dengan segala macam kepribadiannya.

Ada hal yang aneh sebenarnya di sini, kemajemukan Indonesia yang sering dikhawatirkan akan menuju separatisme, dinilai juga sebagai asset berharga untuk pengembangan pluralitas. Dari perbedaan-perbedaan ini Indonesia seharusnya bisa menjalani proses menuju bangsa yang dewasa. Indonesia harus memberikan ruang pada kreativitas, mendorong pemikiran baru, dan penyelesaian altematif, ketimbang mempertahankan mental kebodohan yang seragam, yang akan membawa bangsa jadi bermental budak.

Dalam situasi dunia yang penuh kompetisi, manusia yang tidak ingin kreatif dan inovatif akan memundurkan jarum jam pembangunan. Di sinilah pertanyaannya: Apakah kita sudah memiliki sistem pendidikan seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 45?

Bila sudah, maka kita bisa berharap akan masa depan yang cerah. Bila belum, maka kita tak akan pernah menjadi negara yang demokratis dan penduduk negeri ini akan terus dalam situasi pendidikan yang miskin, tidak dewasa dan tertinggal dengan perkembangan negara-negara lainnya. Situasi ini harusnya mendapat perhatian serius dan menjadikan 200 juta penduduk mengambil sesuatu tindakan sebelum mereka gila dengan situasi sekarang.

Jakarta Post, 5 Maret 1997 (Tulisan asli dalam bahasa Inggris)


SUATU 10 NOVEMBER  



SUATU hari Minggu suram kelam 78 tahun yang lalu, 10 November 1918 seorang kopral tentara Jerman yang luka-luka berat di rumah sakit menangis frustrasi, sesudah seorang pastor yang mengunjungi para pasien memberitakan bahwa di luar dugaan patriotiknya Jerman menyerah kalah kepada Perancis, Inggris, AS dan sekutu-sekutu. Kopral itu Adolf Hitler. Kaisar Wilhelm II dinasihati Pangab dan Staf Jenderalnya sendiri agar turun tahta, lari ke luar negeri dan menyerahkan pimpinan negara kepada politikus sipil bermayoritas Partai Sosialis Demokrat yang sebetulnya tidak suka mengambil oper pimpinan negara yang sedang ambrol dan dipaksa tentara untuk menerima syarat-syarat kekalahan yang amat menghinakan Jerman di Compiegne dan Versailles.

Hitler anak desa Austria yang kemudian di kota Wiena yang gemerlapan cuma buruh serabutan rendah amat miskin. Tetapi pada hari gelap 10 November 1918 itu (yang oleh nasib sejarah tanpa sangkut-paut sedikit pun setanggal dengan Hari Pahlawan kita) Hitler, genius dahsyat untuk berkuasa tanpa ampun tanpa moral, bersumpah kepada diri sendiri untuk membangkitkan kembali Jerman Raya yang jaya-wijaya, dan memutuskan untuk menjadi seorang politikus. Dengan tekad luar biasa dan terutama ketegaan tanpa moral akhirnya ia menjadi seorang diktator kejam seolah-olah keranjingan iblis yang menyebabkan kematian dan penderitaan tak terperi kepada puluhan juta manusia tak bersalah selama hanya 12 tahun berkuasa di Jerman dan menyulutkan perang 6 tahun di seluruh dunia.

Maka dalam kesadaran era global sekarang, teristimewa dalam musim kekerasan dan praksis kekejaman macam-macam di negeri ini, ada baiknya kita belajar sedikit dari sejarah dunia. Khususnya tentang Hitler dan fasisme yang merupakan salah satu jurang neraka kekerasan global yang meliputi akhir abad 20. Dan yang lewat Jepang datang berdampak di negeri kita juga. Di antara kurung namun tidak tanpa isyarat, di Yogyakarta barn saja terbit antologi puisi berjudul "Fasisme."

Demokrasi demi meniadakan demokrasi

Jerman 1918 kalah perang dan kacau balau politis ekonomis. Tentara Jerman warisan ningrat Prusia yang juga main politik intensif sekali masih utuh. Tetapi dalam negara federasi yang penuh pertengkaran keras antara para tuan majikan ningrat bisnis besar lawan kaum buruh dan massa yang semakin sadar hak-haknya, lasykar-lasykar liar kaum sosialis maupun bolsyewis (komunis) serta militer promonarki merajalela saling baku tembak.

Sesudah keluar rumah sakit Hitler lalu menjadi intel Resimen 2 infanteri negara bagian Bavaria, kemudian jadi penatar dalam Departemen Politik Komando Distrik Tentara yang memerangi pacifisme (cinta damai), sosialisme dan demokrasi. Jadi subversif melawan Negara Jerman mereka sendiri yang sudah menjadi republik demokrasi. Ketika si intel Hitler bertugas memata-matai Partai Pekerja Jerman yang kecil, malah justru ia diangkat jadi anggota Partai itu karena mencolok bakat hebatnya berpidato. Ia sendiri tertarik karena meski partai itu resminya demi para pekerja, tetapi lain dari kaum sosial demokrat, menganggap kaum pekerja hanya sarana demi kebesaran nasionalisme Jerman. Dengan licik segera ia menggusur pimpinan dan mengubah sistem partai itu sehingga menjadi pemimpin tunggalnya. Pendukung kuatnya seorang kapten tentara, Ernst Roehm, yang kemudian ia tugasi menjadi benggol pasukan preman gali-gali SA (Sturmabteilung = Pasukan Pendobrak, Barisan Baju Cokelat) yang harus mendukung Hitler dalam seluruh kampanye politiknya dengan cara-cara teror, sampai pembunuhan pun bila perlu. Roehm sendiri kelak dibunuh Hitler.

Tahun 1923 bersama mantan kepala staf seluruh tentara Jerman dan pahlawan nasional, Jenderal Ludendorff, ia mencoba mengkup pemerintahan dengan kekerasan di Munich, tetapi gagal dan lari (Ludendorff kemudian tak mau kenal lagi pada si pelari). Sesudah dipenjara sampai 1925, ia mulai lagi mengkonsolidasi partai ekstrem kanannya, yang sudah berubah nama menjadi NSDAP, Partai Buruh Jerman Nasional Sosialis, terkenal sebagai Partai Nazi. Sebutan "buruh" dan "sosialis" di sini dipakai melulu untuk mengelabui dan memancing massa bawah. Tetapi sekarang Hitler hanya ingin melewati jalan-jalan konstitusional, walaupun tetap dengan cara-cara preman SA Kapten Roehm. Memanfaatkan cara-cara demokrasi untuk menghancurkan demokrasi.

Dengan bakat kemampuan pidatonya yang luar biasa, pengobaran api dendam nasionalisme Jerman yang benci pada perjanjian Versailles yang
menghancurkan martabat serta ekonomi Jerman, dan khususnya berkat teror preman SA dan SS (Staffelschutz = Pengawal elit eselon partai setanding tentara resmi), akhirnya 30 Januari 1933 pukul12.00 Presiden Hindenburg yang sudah lansia, lewat jalan konstitusional yang sempurna, menunjuk Adolf Hitler selaku Kanselir (menteri perdana) seluruh Jerman dan perdana-menteri negara bagian strategis penting Prusia dengan ibu kota Berlin.

Satu bulan kemudian Gedung Parlemen (Reichstag) dibakar pasukan sandi SA dan peristiwa itu ditiup besar-besaran di media massa, disusul vonis pengadilan robot Nazi sebagai ulah kaum komunis. Kesempatan emas itu dipakai Hitler untuk memperhebat kampanye antikomunis demi persatuan dan kesatuan Jerman Raya serta keamanan umum. Secara Konstitusional negara-negara bagian federasi didekrit menjadi provinsi-provinsi belaka dari negara kesatuan fasis pimpinan satu orang tunggal dengan satu partai tunggal. Semua serikat buruh dan organisasi kiri dilarang.

Tinggal kelompok kanan yang masih kuat, para ningrat tuan-tanah, kapitalis besar bisnis-industri dan tentara dengan Staf Jenderalnya yang masih amat dihormati rakyat. Lewat politik to take to give mereka inipun akhirnya mendukung Hitler dan partai Nazi, karena melihat mantan kopral dari Austria yang ahli berpidato itu sanggup menghancurkan kaum kiri dan berbakat besar untuk memulihkan Jerman Raya. Demikianlah semua jalan rata untuk mempersiapkan perang besar yang ternyata nanti membunuh puluhan juta rakyat dan banjir bandang malapetaka penderitaan di segala benua. Namun yang juga menjadi sebab-tak-tersengaja yang memungkinkan Revolusi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Sehingga dengan tanda petik besar dan humor hitam ala gali-gali kita bisa berkelakar sinis bahwa bangsa Indonesia harus berterima kasih pada Hitler.

Fasisme

Kata fasisme datang dari bahasa latin fasces (berkas ranting pohon birk yang diikat dan kampak di tengahnya) yang sejak abad ke-6 Sb.M. adalah lambang kekuasaan mutlak diktatorial. Jerman Hitler, Italia Mussolini dan Jepang Toyo waktu itu adalah negara-negara eksplisit fasis yang jiwanya tidak dapat dilepas dari sebentuk nasionalisme yang berkelebihan (chauvinisme) dan gila kuasa model Machiavelian (atau Kresna Jawa). Fasisme dan nasionalisme ekstrem di mana-mana tanpa terkecuali adalah saudara-saudara sekandung. Fasisme mengklaim musuh buyutan (lebih tepat saingan sengit) komunisme, tetapi nyatanya saudara sekandung kembar dampit. Lawannya demokrasi sejati. Predikat sejati di sini penting disebut untuk membedakannya dari demokrasi semu yang mengaku diri demokrasi tetapi tulang-daging dan praksisnya fasistis maupun komunistis alias ekstrem kanan.

Memang fasisme bisa macam-macam cara pentasnya, tetapi ciri dasarnya sama, yakni sistem kekuasaan totaliter yang disetir oleh suatu partai kuasa tunggal atau dominan yang tidak mentolerir kebijakan atau pendapat lain selain yang disukainya. Tetapi dikamuflase dengan semacam majelis perwakilan rakyat yang boneka. Maka praksis dan gayanya ialah kekerasan, intimidasi, teror. Dengan tulang punggung sistem intel, polisi rahasia atau informan. Dengan resep penganiayaan terdakwa ataupun tercurigai, hantam dulu urusan belakang. Negara fasis biasanya disebut negara polisi. Bukan polisi dalam arti polisi negara demokrasi yang hanya mengurusi perkara pidana dan perdata, akan tetapi polisi politik, intel. Di Jerman Hitler namanya Gestapo, Geheime Staatspolizei (Polisi Rahasia Negara), di zaman Jepang dulu Kenpetai atau KGB di Rusia Soviet, yang praktis adalah pasukan algojo resmi yang keji tak menggubris aturan hukum atau etika kemanusiaan.

Tetapi dalam negara fasis pun ada "hukum" pengadilan dan mahkamah agung. Cuma pejabat-pejabatnya hanya boneka atau beo belaka. Pers dan media massa serta segala wacana ilmiah pun disensor dan diarahkan oleh aparat negara. Semua organisasi dan lembaga apa pun dikontrol oleh aparat pemerintah yang identik dengan kepentingan satu partai dominan. Maka tidak mengherankan apabila gaya, mentalitas dan cara kerja kemasyarakatan dan kenegaraan lalu militeristik, karena yang berlaku ialah sistem komando dari atas dan ketaatan mutlak dari bawah.

Otomatis gaya gerak masyarakat dan negara tercermin dalam kegemaran negara fasis pada mode pakaian seragam dan baris-berbaris, teriak komando, upacara gegap-gempita di stadion, bahasa pengarahan, poster-poster propaganda besar, penataran ideologi, dan sebagainya.

Genius Hitler yang mendapat rekan seperangai DR. Joseph Goebbles, untuk pertama kali dalain sejarah memahami, betapa vital masalah pendidikan dan informasi dengan membentuk Kementrian Propaganda yang bertugas menyeragamkan segala informasi apa pun kepada penduduk. Pers, penerbitan, radio dan film harus taat ketat kepada pengarahan tentang apa dan bagaimana yang boleh disiarkan. Kritik dicap liberal dan dilarang.

Seluruh pendidikan anak, pemuda-pemudi, wanita dewasa, tani, buruh, disatukan dalam satu organisasi pemerintah, yang praktis merupakan organisasi kader politik bergaya militer. Bahkan agama pun ditundukkan oleh negara dan harus mengabdi keperluan pemerintah, karena yang sah hanyalah ideologi dan tafsiran negara. Negara fasis lalu menjadi sebentuk monarki absolut atau kekaisaran tetapi dengan atribut-atribut sok-republik, di mana tiga unsur utama trias-politika, legislatif, eksekutif, yudikatif disatukan dalam satu tangan dan organisasi. Di bawah satu penguasa tunggal. Namun Hitler hanya dapat bertindak begitu karena terdukung penuh oleh para bos bisnis dan industri besar serta terutama para jenderal Jerman.

Masalah universal

Namun Peter F Drucker, ahli korporasi modern, melihat lebih dalam lagi. Pertama, Drucker mengingatkan; Perang Dunia II ialah "perang pertama yang sungguh-sungguh harus ditangani sebagai perang industri, sebagai perang, di mana industri tidak berkedudukan sebagai penolong, tetapi the main fighting force itself" (Apalagi perang-perang besar kemudian). Begitulah "sangatlah penting" tandas Drucker, untuk terang memahami bahwa Nazisme tidak dapat dijelaskan oleh itu khas sifat nasional Jerman, sejarah Jerman atau kondisi kelembagaan dan geografi Jerman. Esensi Nazisme adalah ikhtiar untuk menyelesaikan masalah universal peradaban Barat, yakni masyarakat industri. Dan bahwa prinsip-prinsip mendasar yang menjadi sendi ikhtiar kaum Nazi itu sama sekali tidak terbatas di Jerman saja. Kita harus tahu bahwa yang kita perangi ialah usaha untuk mengembangkan masyarakat industri yang berfungsi atas dasar perbudakan dan penguasaan(The Future of lndustrial Man, Chapter I). Kini bangsa Indonesia pun sedang mengembangkan diri ke arah masyarakat industri. Yang tentulah diusahakan berfungsi. Yang prinsipnya semua tahu: Pancasila. Tinggal praksisnya. . ..

Kompas, 09-11-1996


ADAT SUAKA : UNGKAPAN NURANI KOLEKTIF  



KERINDUAN manusia menemukan harmoni antara manusia dengan Tuhan Yang Maha-Agung, Maha-Intim sangatlah mendalam. Begitu juga kerinduan menemukan segala warna kebaikan, kebenaran, kejujuran, keadilan, kerukunan, kedamaian dan semua saja yang terasa spontan memekarkan dan menyaudarakan semua orang. Maka dalam situasi bingung, takut, gelap, galau, orang sering mendatangi rohaniwan yang ia percayai punya hati yang baik, suka menolong dan tidak akan berkhianat. Rohaniwan (arti luas termasuk kaum intelektual, jadi tidak hanya pejabat resmi suatu agama) tetap manusia biasa dengan kelebihan serta kekurangannya. Namun ia diharapkan oleh umat agar mengaktualisasi, mempersonifikasi, mencitrakan jawaban kerinduan eksistensial tadi. Demikianlah rohaniwan/intelektual sejati akan memberi perlindungan semampunya kepada yang dihardik, diburu, fisik maupun psikis. Yang baik-baik maupun yang jahat, sebab orang jahat pun manusia.

Kaum rohaniwan/intelektual tidak diberi tugas masyarakat menjadi jaksa, polisi, hansip atau intel yang wajib melaporkan orang (apa lagi yang sudah mempercayakan diri kepada kebaikan dan kesetiaan hatinya) agar lekas digiring ke penjara. la bertugas (atas nama Yang Mahabaik, Maha-Pengampun serta hati nurani kolektip masyarakat yang menjunjung tinggi kemanusiawian, keadilan dan peradaban mulia) untuk menolong orang siapa pun yang sedang tenggelam dan takut. Motivasi politik, jelasnya: politik dalam kerangka kekuasaan, tidak dipunyainya. Hanya peri-kemanusiaan.

Namun ia aktip berpolitik dalam arti lain yang lebih asli: yakni ikut menyumbang apa pun demi kesejahteraan umum (bukan cuma partai, perusahaan, penguasa atau kelompok yang ia sukai dsb.) ke arah persaudaraan, kedamaian, penyembuhan, rekonsiliasi. Maka demi itulah dalam sejarah bangsa manusia yang sudah beradab dan dewasa dikenal antara lain yang disebut Hukum Suaka (Asylrecht).

Di Yunani Antik, yakni palungan kelahiran bangsa manusia cerah budi, disepakati: apabila seorang buruan minta perlindungan di beberapa tempat tertentu, aparat penguasa apa pun tidak boleh menginjak tempat lindung itu untuk menangkapnya. Tempat itu dalam bahasa Yunani disebut: asulon = tempat kebal, asyl, suaka. Asulon di Yunani di lokasi dalam wilayah bait-bait pemujaan dewa-dewi mereka, dan oleh bangsa-bangsa pengikut Nabi Ibrahim dalam bait-bait pemujaan Yahwe, Tuhan Yang Mahaesa.

Yunani adalah nenek-moyang para filsuf rasional murni yang anti-takhayul, negeri para pemikir ulung yang antara lain mengkonsep negara demokrasi dengan warganegara yang bermartabat. Sehingga akhirnya, lewat evolusi amat panjang dengan segala up and down, berkembanglah kini pengakuan hak-hak/kewajiban azasi manusia oleh mayoritas negara-negara modern yang manusiawi, adil dan beradab.

Dalam kalangan putera-puteri Nabi Ibrahim prinsip dan hukum asulon berakar pada kesadaran religius, bahwa raja yang sebenarnya bukanlah raja duniawi, melainkan Yahwe, Tuhan Yang Mahaesa, Allah. Gelar paling bermartabat bagi Raja Daud misalnya ialah Abdi Yahwe, ekuivalen dengan Abdullah. Dan karena itu kekuasaan raja, tentara, jaksa, dsb. terbatas nisbi. Kekuasaan mereka tidak mutlak, tetapi hanya sah sepanjang masih mau dibawahkan oleh Tuhan atau Hukum Tuhan, prinsip-prinsip moral dan etika.

Semua dan setiap raja, pangeran, sheikh atau kepala keluarga penghuni padang pasir Arab dengan sikap ksatria akan konsekuen memberi suaka dan menjamin keamanan setiap orang buruan yang memohon perlindungan dalam wilayah wibawanya. Ia malu bila tidak mau memberi suaka kepada siapa pun (sekali lagi: siapa pun) yang memohon perlindungan kepadanya. Entah si buruan itu benar atau salah, kawan atau lawan, itu urusan nanti. Permohonan perlindungan harus ia kabulkan, selama ia masih ingin disebut tuan yang berdaulat dan bermartabat dan tidak mau disebut pengecut yang tak pantas dihormati bahkan tidak layak untuk hidup. Teristimewa terhadap buruan politik. Dengan segala risiko besar sekalipun.

Kesediaan memberi suaka kendati penuh risiko oleh bangsa Yunani Antik dan bangsa-bangsa Timur Tengah itu masih berlaku sampai sekarang. Kita ingat bagaimana Raja-Husein dari Yordania memberi perlindungan yang penuh risiko kepada para menantu Saddam Hussein yang membelot serta seluruh keluarga mereka. Saddam pun tahu tentang hukum suaka tradisi padang pasir yang sudah sekian ribu tahun diakui oleh adat. Kendati memaki-maki, Saddam tetap menghormati Hukum Suaka padang pasir. Hanya kerelaan pemohon suaka untuk menyerahkan diri, itulah satu-satunya yang dapat melepaskan sheikh atau raja dari kewajiban memberi asulon.

Tradisi padang-pasir Israel-Arab dan Yunani klasik itu diteruskan dalam budaya Nasrani di Eropa Barat. Setiap buruan yang minta perlindungan di dalam wilayah gedung gereja, menurut adat Katolik sepanjang abad-abad tidak boleh ditangkap oleh aparat kekuasaan duniawi apa pun. Bukan karena Gereja (atau Kepala Suku Padang Pasir) membantu si buruan untuk menghindari hukumannya yang adil dan sah. Akan tetapi demi dua hal:

Pertama untuk melunakkan dunia keras siapa-kuat-dialah-menang-dialah-norma-'keadilan' para raja dan penguasa yang seumumnya cenderung untuk mencari menangnya sendiri. 'L 'etat c 'est moi (Hukum ialah aku)' ujar Raja Louis XIV angkuh. Raja adil atau penguasa yang manusiawi memang luar biasa amat langka sekali. Maka Gereja merasa wajib untuk melestarikan Hukum Suaka warisan dunia Yunani dan padang-pasir Israel-Arab itu, agar rasa keadilan, peri-kemanusiaan serta peradaban sejati semakin dipatuhi oleh para raja dan penguasa duniawi. Yang dikecualikan dari penikmatan hukum suaka Gereja hanyalah para pembunuh, pelaku perzinahan, penghindar pajak, pemerkosa, pengkhotbah kepercayaan sesat, dan beberapa kategori lain yang pada waktu itu dianggap kriminal. Tentu saja sesudah keputusan final oleh hakim yang adil dipalukan.

Buruan politik senantiasa harus dilindungi oleh asulon, karena menganut politik tertentu yang tidak disukai raja bukan atau belum tentu suatu kejahatan apalagi dosa terhadap Tuhan.

Alasan ke-dua lebih rohani, yakni untuk memberi kesempatan kepada yang diburu itu untuk bertobat ke jalan yang benar (apabila memang dia terbukti salah) atau agar ada waktu untuk tawar-menawar dengan pihak raja/penguasa bila tuduhan terbukti tidak betul; akibat fitnah misalnya, kecemburuan, keputusan tak adil dari hakim lalim atau penguasa sewenang-wenang dsb. Bahkan seorang pastor atau kepala biara yang menyerahkan (baca: mengkhianati) si pemohon suaka dihukum berat oleh Gereja.

Dengan cerainya negara dari agama, hukum suaka semakin digerogoti oleh tata-negara yang mengikuti sekularisme. Namun sebagai perimbangan, seluruh perangkat hukum pidana maupun perdata, proses kepolisian serta kehakiman diperbaiki menjadi semakin adil dan efektip melindungi semua dan setiap warga-negara dari segala kesewenang-wenangan. Hak/kewajiban memohon/memberi perlindungan suaka di dalam gereja kini tidak lagi dibakukan lewat pasal-pasal Hukum Gereja. Namun kebiasaan praktis adat asulon yang sudah berjalan sekian ribu tahun itu tetap selalu dijunjung tinggi oleh praksis para rohaniwan Gereja. Selama Perang Dunia II ribuan buruan rezim Hitler dan Stalin mendapat suaka perlindungan dalam wilayah gereja/biara. Selama perang-perang Kemerdekaan Indonesia para gerilyawan terlindung dalam gereja atau biara didaerah-daerah yang diduduki Tentara Belanda.

Dalam konteks lain sisa-sisa jauh dari penghormatan wilayah asulon kita temukan dalam hukum internasional mengenai status kebal gedung, halaman kedutaan dan korps diplomatik. Sekian tahun yang lalu Tentara Amerika Serikat mendobrak Panama untuk menangkap Jenderal Noriega (soal perdagangan bius). Noriega minta perlindungan di Kedutaan Vatikan. Konsisten, konsekuen Duta Vatikan menolak untuk menyerahkan Noriega kepada Tentara Amerika. Lewat persuasi akhirnya Noriega sendirilah yang menyerahkan diri secara sukarela kepada para pemburunya.

Dalam konteks situasional, di mana raja, tumenggung atau demang berperan legislatip merangkap eksekutip dan sekaligus ketua mahkamah agung, hukum adat asulon amat diperlukan selaku pengimbang kesewenang-wenangan. Oleh karena itu rohaniwan/pendeta/pastor/biksu sejati akan menjauhkan diri dari segala hal-ihwal politik dalam arti reduktip tadi: mencari atau merebut atau mempertahankan kekuasaan belaka.

Namun dari pihak lain tetap setia kepada fungsi penjagaan moral, keadilan, kedamaian, kerukunan, saling pemekaran manusia, rekonsiliasi, dsb. Pendek kata penyuara hati-nurani. Bersama dengan kaum intelektual atau budayawan. Seresonansi dengan sila ke-2 kemanusiaan yang adil dan beradab; sila yang diajukan oleh para Pendiri RI kita selaku ekspresi hasrat selaras dengan hati-nurani global, yang biarpun masih banyak dilanggar di mana-mana, tetapi tetaplah Bintang Kejora penunjuk jalan kemanusiaan, keadilan dan peradaban.

Adat suaka adalah ungkapan hati-nurani kolektip, bahwa bangsa manusia tidak semestinya mengacu ke hukum survival of the fittest hewani belaka, tetapi ke penataan hidup bersama yang mengakui moral, keadilan dan budaya luhur; suatu sikap semangat yang suka pada fair-play dan last not least: sikap ikut bela-rasa (compassionate) dengan para dina-lemah yang tak berdaya membela diri terhadap kesewenang-wenangan berbagai bentuk.

Paralel dengan prinsip asulon ialah fungsi Palang Merah yang wajib mengobati luka-luka dan menyelamatkan hidup kawan maupun lawan. Biarpun musuh yang disembuhkanitu nanti dapat menyerang kawan lagi, namun menyembuhkan lawall, menyelamatkan hidup si musuh adalah tugas kewajiban internasional Palang Merah maupun dokter sejati dalam tata-nilai universal yang beradab, berbudaya. Rohaniwan dan kaum intelektual sewujud Palang Merah yang mengatasi tembok-tembok politik bermotivasi kekuasaan.

Jikalau kepercayaan kepada aparat paling bawah sampai Mahkamah Agung masih tinggi, maka orang yang diburu dengan pasrah akan berpaling kepada para hakirn. Jikalau tidak, maka tidak ada jalan lain, penuh ketakutan buruan-politik muda yang terperosok dalam kemelut dengan sendirinya akan minta suaka kepada naungan sejenis Palang Merah, seperti misalnya tim relawan rohaniwan intelektual budiwan, para advokat LBH serta bapak-bapak dan terutama ibu-ibu yang gemetar tetapi ikhlas merangkul mereka. Dengan kepercayaan bahwa dalam negara yang terhormat dan masyarakat manusiawi serta beradab para kiai dan rohaniwan, kaum intelektual, para advokat serta para budiwan sosial tidak bertugas sebagai polisi kasus politik, intel atau informan politik, tetapi berfungsi selaku asulon dalam bentuk pribadi. Yang dalam penghayatan hati nurani global namun lokal kontekstual meneruskan warisan pusaka tradisi 2500 tahun budaya tinggi Yunani Antik dan padang-pasir anak-benua yang melahirkan nabi-nabi besar. Sayang, Indonesia tidak punya padang-pasir bebas bakteri. Yang ada, hutan rimba belantara.

Jawa Post. 9 September 1996


PESTA ULAR KOBRA  



PERNAH seorang mahasiswi Amerika saya tanyai, bagi dia peristiwa pemilu Presiden USA punya arti apa? - Fun, just fun. jawabnya. - Bukan ekspresi demokrasi? - Mana bisa demokrasi, praktis hanya dapat memilih antara dua partai yang itu-itu saja. - Wah, kalau itu ukurannya, Indonesia lebih demokratis dari negara anda. - Tidak ada negara yang demokratis, ujarnya skeptis.

Mungkin ada perkecualian, pikirku, suku Kubu, Indian atau orang-orang Bush gurun Afrika, seperti yang ditunjukkan dalam film The Gods must be Crazy yang lucu itu. Tetapi suku bukan negara. Kembali ke Indonesia, pemilu disebut pesta rakyat. Mungkin sama mungkin tidak dengan fun, just fun tadi. Tetapi mana mungkin ada pesta dengan pasukan-pasukan anhuha (anti huru-hara) yang sudah siaga dengan peluru, anjing dan... nah ini the greatest invention of the century: ular kobra ? Mungkin saja. Di Indonesia, seperti di Amerika, semuanya mungkin. Saya dapat membayangkan betapa ramai serba sorak-sorai dan gelak ketawa nantinya bila ular-ular kobra itu dilepas oleh pasanhuha dan disambut oleh para demonstran yang tentu saja sudah membawa pawang- pawang ular jitu yang terdapat banyak di negeri ini, lalu para kobra itu membalik justru mengejar pasanhuha. ltu jika ular kobranya tidak berwarna kuning.

Sebetulnya ular mudah diatasi dengan tongkat panjang bercabang. Dan lagi, ular kobra pun bukan perkecualian, tidak pernah mengejar manusia. ltu hanya di cerita-cerita anak-anak saja. Ular selalu lari dari keramaian manusia. Hanya jika ia terjepit atau terkejut terinjak atau kepergok mendadak, baru ia tegak mendesis menyembur racun, tetapi pasti lalu lari. Ke mana? Tergantung tadi, ularnya kuning atau tidak, coba lihat nanti bila the greatest show of the century itu dimulai. Pasti para wartawan luar-negeri amat senang dengan peristiwa cobra-fun nanti.

Namun kembali pada soal demokrasi, apakah di Indonesia demokrasi masih mungkin? Yang saya maksud bukan demokrasi yang disebut liberal barat atau komunis (RRC dan Vietnam pun menyebut diri republik demokratik) atau lainnya, melainkan demokrasi dalam arti asli. Yakni pemerintahan atau sistem pengambilan keputusan, penataan negara, tidak oleh a happy few sedangkan a servile crowd tinggal menelan apa yang diputuskan dari atas, tetapi oleh rakyat. Bahkan sering langsung oleh suatu referendum seperti yang berjalan di Swiss dan negara-negara lain yang sudah dewasa punya pengalaman lama tentang perbincangan bersama yang jujur dan adil.

United Kingdom misalnya, Nederland, Belgia, Denmark, Norwegia, Swedia, Spanyol, Jepang yuridis bertahta kerajaan, tetapi substansial praktis mereka republik. Tetapi Mesir, Siria, Irak, Zaire dan beberapa negara di Asia resminya republik, tetapi substansial praktis kerajaan, bahkan ada yang kerajaan mutlak. Demokrasi di situ ya cuma baju kelambu belaka. Bukan baju yang sebetulnya. Ada lagi sistem yang dalam beberapa ekspresinya demokratis tetapi dalam hal-hal yang amat pokok sama sekali tidak demokratis. Apakah lalu demokrasi yang ideal itu belum pernah ada? Sebaiknya kita jangan bertanya dengan rumusan begitu. Lagi tidak perlu. Asal baik, jujur dan realistis.

Substansi

Kata demokrasl memang tidak menolong banyak. Terlalu dibebani bahkan dinodai oleh segala tafsiran-enaknya sendiri; topeng yang tidak adil bahkan melawan arti demokrasi yang sebenarnya. Begitu juga kata lawannya, komunisme. Maka lebih baik kita (khususnya generasi muda) berwacana soal tulang dagingnya, tidak cuma kulitnya saja. Yakni pencarian sistem tata negara yang cukup adil dan cukup mampu mendewasakan semua warga negaranya pada posisi yang cukup membahagiakan hidupnya. Cukup atau lebih dari cukup, tidak perlu yang ideal. Atau: yang tidak menghendaki dan tanpa henti memerangi eksploitasi manusia oleh manusia lain dalam tata negaranya, tata ekonomi serta kulturalnya. Yang meminimkan cara-cara kekerasan dan paksaan. Atau: yang membendung berbagai bentuk kekuasaan menjadi pemusatan kekuatan yang praktis serba mendikte keputusan-keputusan vital. Yang semakin dan semakin mengurangi jarak antara sesama warga negara dalam hal pendidikan, informasi, kesempatan, peluang ekonomi dan penghasilan real, jalan-jalan pembudayaan serta pemekaran diri, sehingga tidak sulit menjadi manusia yang seutuh mungkin. Atau: yang tidak membiarkan mulut senjata api (kini ditambah mulut ular kobra) ikut berbicara dalam perbincangan yang dari kodratnya dilakukan oleh mulut-mulut di wajah manusia atau jari-jemari tangan sebagai sarana ekspresi persuasi nalar, cita rasa dan hati nurani manusia. Juga yang tidak digenangi dan dirembesi jiwa korup, mental mencuri, bohong, main tipu, suka yang semu, urik, tidak kenal fair play,dan sebagainya. Suatu deskripsi seluas mendetail mungkin jauh lebih berguna daripada slogan-slogan atau label-label yang terlalu umum lagi terlalu pendek sempit untuk menggambarkan realitas yang sangat luas dan kompleks. Demikianlah kita tidak lagi terkacau oleh cap-cap seperti demokrasi liberal, demokrasi komunis, demokrasi terpimpin, demokrasi terbina, demokrasi Kuomintang, Triad Yakusha, juga demokrasi Pancasila dan sebagainya yang bisa ditafsir macam-macam menurut siapa yang kebetulan sedang kuasa, sehingga perbincangan menjadi simpang-siur. Dengan akibat para penguasa malah leluasa berkuasa sesuka mereka.

Namun harus diakui, bahwa istilah demokrasi, meski sangat mengacau, sementara terpaksa masih sering kita pakai, karena sudah telanjur beredar di kalangan sekian milyar manusia yang biasanya tidak (sempat dan mampu) refleksif tentang isi sebenarnya dari suatu istilah. Ini masalah penting Sprachspiel atau permainan kata yang sudah diingatkan oleh filsuf Wittgenstein (silakan baca: Kompas 14 Sept. 96, hIm 4), dan yang sudah berabad-abad mengacau jalan dialog di seluruh dunia. Tetapi apa boleh buat, inilah realita yang kita hadapi. Maka bila dalam esai ini pun saya pakai istilah demokrasi meskipun cukup mengacaukan, saya hanya percaya kepada kecerdasan para pembaca budiwati-budiwan untuk menyaring sendiri sari emasnya dari logam-logam lain yang serba tidak bersih.

Prasyarat tanah-tumbuh

Kita semua, khususnya generasi muda berbicara banyak tentang dan memperjuangkan demokrasi. Itu amat terpuji. Cuma demokrasi bagaikan tanaman hidup memerlukan tanah-tumbuh yang pas. Padi mati di tanah kering. Gandum atau sorgum tidak. Apakah (salah satu) syarat mutlak demokrasi? Suatu bangsa yang cukup rasional dan cukup cerqas. Bangsa yang emosional melulu dan setiap kali mudah terbakar retorika atau isu, tidak dapat berdemokrasi. Juga bangsa yang bodoh impulsif bermental instan saja sehingga sulit memperhitungkan akibat dari sebabnya, juga tidak mungkin berdemokrasi. Bangsa yang mudah mata-gelap, mengamuk dan "hantam kromo," yang berjiwa "pukul dulu urusan belakang" mustahil berdemokrasi. Bangsa atau paling sedikit orang yang tidak sportif, tidak fair p!ay,dan marah ngawur jika kalah bermain sepak bola atau apalah, juga tidak dapat berdemokrasi. Bangsa yang amat mudah tersinggung dan tidak tahu humor sehat, yang menomorsatukan gengsi sebagai nilai hidup atau yang merasa diri bangsa yang paling hebat, paling Pancasila di seluruh dunia, bapgsa yang super patriot dan ultra-nasionalis, dalam bahasa Jawa (maaf) adigang adigung adiguna (mempongahkan kekuasaan, keluhuran dan kemampuan diri) juga sangat sulit berdemokrasi.

Tetapi sebaliknya bangsa yang selalu pamer sombong merasa diri paling ramah, paling lemah lembut, paling murah tersenyum, siapa tahu itu bangsa yang minder, yang penakut, yang penjilat, yang perangkak, yang ada bunyi sedikit lalu bertiarap, (celakanya jika berjiwa pelacur) juga sulit berdemokrasi. Manusia tuan besar, maharaja maupun kuli jongos babu sama-sama tidak berbakat untuk berdemokrasi. Daftar kendala demokrasi masih banyak, dapat didiskusikan sendiri oleh generasi muda. Generasi tua juga? Wah, orang-tua apalagi yang lansia teramat sulit berdemokrasi. (Perkecualian tetap ada). Bukan karena mereka berperangai buruk, mereka baik-baik saja, tetapi kodrat atau paling sedikit pembawaan semua orang-tua itu konservatif (bahasa Latin: conservo = melestarikan) merasa wajib melestarikan yang ada, apalagi yang dengan susah payah sudah beliau perjuangkan sampai tua. Jadi bagi beliau demokrasi itu ya yang sudah ada ini. Abadi. Kita jangan marah atau menggerutu bila orang lansia konservatif, karena dunia fase hidup beliau memang persiapan diri ke arah dunia keabadian.

Prasyarat kecerdasan

Namun sungguh nyata, mengambil yang paling menentukan, demokrasi alias negara hukum mustahil bila bangsa, atau lebih tepat kehidupan bangsa masih bodoh, dungu, tolol, sempit pikir. Hasilnya cuma demokrasi orang-orang bodoh alias anarki. 0leh karena itu kita mengerti mengapa para bapak pendiri RI 17 Agustus 1945 eksplisit beramanat dalam Mukadimah UUD 45 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan, bukan membuat pandai, pintar, ahli, cerdik, lihai, atau terampil, apalagi kuasa, kaya atau bergengsi dan sebagainya. (Tentang perbedaan antara cerdas dan pandai, pintar, maafkali lain saja).

Kehidupan bangsa, bukan cuma para murid atau mahasiswa, para manajer atau perwira, kaum elite atau yang berduit, ataupun bangsa saja (sekian puluh/ratus juta individu), melainkan kehidupan bangsa. Termasuk tata-politik, tata-ekonomi, tata-jurnalistik, tata-pendidikan, tata-lalu-lintas, tata-pasar, tata-pertanian, tata-transmigrasi, tata-beragama dan seterusnya dan sebagainya. Apakah kehidupan bangsa selama 30 tahun terakhir ini (sekurun satu generasi) sudah tampak buah-buah pencerdasannya? Dari fakta-fakta kekerasan dan hal-hal nyata lain serta sekian pernyataan oleh sekian pejabat tinggi serta macam-macam rekayasa selama ini, dengan simbol spektakuler yang tiada tandingannya di seluruh dunia, yakni ancaman maut ular kobra untuk menghadapi demo (tanggung bahan tertawaan di kalangan para duta besar sekaligus pembuat jengkel para menlu, ahli hukum, apalagi LSM HAM dunia internasional), tampaknya belum.

Kekerasan sebenarnya sebentuk kebodohan juga. Manusia yang cerdas dengan sendirinya tidak suka kekerasan, karena manusia yang suka kekerasan lebih dekat dengan dunia binatang buas daripada mahluk manusia yang bermartabat. Jika kekerasan bodoh menjawab kekerasan yang bodoh juga, akan ke mana nasion kita? Saya rindu pada Generasi 1908 dan 1928 yang cerdas, amat cerdas, lagi berbudi luhur. Yang malu untuk bermain tidak fair dan karena cerdas selalu menghindari kekerasan dan karena itu berjiwa demokrat. Yang tidak pernah punya pikiran berpesta demokrasi dengan hidangan ular kobra. Ya, saya rindu pada Generasi 2008 dan 2028 (simbol) yang mudah-mudahan sanggup menciptakan Indonesia Serba Baru yang cerdas dan yang karena itu manusiawi dan demokratik.

Kompas, 03-03-1997


Thursday, March 04, 2004

TEOLOGI PEMERDEKAAN 



TEOLOGI itu refleksi ilmiah atau - paling tidak - rasional, tentang apa yang dihayati orang beriman. Jadi ia tak identik dengan iman dan juga tak sama dengan agama. Dengan kata lain: teologi ialah pertanggungjawaban daya pikir, rasio, tentang yang dihayati iman. Jadi wilayahnya ada pada dunia rasional dan -bila dikerjakan kritis sistematis - di dunia ilmiah. Jelasnya, meski kurang tepat, boleh dikatakan: untuk masuk surga bahagia abadi di hadirat Tuhan, tak diperlukan teologi. Tapi ia bukti penghayatan iman dalam sikap serta amal karya.

Namun, sebetulnya setiap orang selalu berteologi. Hanya lazimnya secara spontan. Tak sistematis ilmiah. Bahkan boleh jadi dengan rasio yang amat didominasi emosi atau prasangka atau ketakutan atau nafsu keliru, bahkan yang disebut tak rasional, tapi dia berteologi (sehat, wajar, tolol, tak nalar, dan sebagainya). Maka setiap orang, entah liberal atau komunis atau Pancasilais atau nihilis, selalu memeluk teologi pembebasan, ngawur atau baik dan sistematis, bermutu atau kurang. Entah dari agama mana atau yang tak punya agama sekalipun. Karena bisa saja dan banyak, "resmi" tak beragama tapi "praktis" beriman. Sebaliknya juga banyak:"resmi" beragama tapi "praktis" tak beriman. Sebab, setiap orang merindukan kebebasan. Maka setiap orang normal apalagi yang beragama atau lebih sempurna lagi beriman, sadar atau tidak, betul atau keliru, ilmiah atau spontan, selalu berteologi pembebasan. Sayang istilah pembebasan sering dicap berbau liberal. Maka saya lebih senang menggunakan istilah pemerdekaan.

Seluruh perbaikan tata hukum yang makin adil, segala usaha perikemanusiaan menolong orang miskin dan tergencet, pengembangan ilmu serta kebudayaan manusia yang membela kebenaran, dan sebagainya, berhakikat memerdekakan manusia dari segala bentuk belenggu. Belenggu ketidaktahuan, ketidakadilan, kebohongan. Juga belenggu keterbatasan tenaga otot, penyakit, dan tata kebiasaan manusia yang merugikan diri, belenggu penjajahan dan eksploitasi manusia oleh manusia lain, dan sebagainya. Dalam bahasa iman: belenggu dosa, yakni segala yang merusak tatanan Tuhan agar manusia menjadi manusiawi sejati dan penuh, baik pribadi maupun sosial. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan perjuangan pemerdekaan ekonomi dan budaya bangsa Indonesia pun diilhami dan diperkukuh oleh teologi pemerdekaan, entah sadar entah tidak, spontan ataupun refleksif dengan memakai teori.

Sesudah Perang Dunia II, di Amerika Latin berefleksilah teologi pemerdekaan "tertentu" yang ingin mengeksplisitkan ilmiah teologis kesetiaan umat kepada tujuan dan tugas hidup para pengikut Yesus. Yakni agar orang tak cuma berpuas diri dengan "menafsir spekulatif' kodrat dan sifat-sifat Tuhan, kejadian alam, dan siapa manusia itu, termasuk dosa manusia dalam segala bentuk ketamakan, keserakahan, dan kekejamannya. Melainkan juga kongkret "berjuang praktis" untuk "mengubah sistem pembelengguan kongkret" berdasarkan refleksi iman. Jelaslah itu teologi bagus dan memang harus begitu. Yang sebetulnya dipikirkan dan didiskusikan dalam kalangan agama lain juga dengan tentu saja argumentasi lain.

Tapi kemudian timbul soal. "Beberapa" (taksemua) teologi pemerdekaan itu bertekad tak cuma samar-samar umum berkata: pembelengguan akibat dosa manusia. Melainkan tanpa tedeng aling-aling kongkret: pembelengguan oleh sistem kapitalisme dan imperialisme, (lebih diperjelas lagi: Amerika Serikat dan negara maju). Nah heboh pun meledak. Dimaki-maki: marxis, komunis. Persis nasibnya seperti Soekarno, Hatta, dan semua perintis kemerdekaan Indonesia yang dulu juga dimaki-maki Belanda: marxis, komunis.

Memang "beberapa" teologi pemerdekaan itu jujur mengakui bahwa "beberapa" analisis ekonomi sosial Karl Marx-lah untuk pertama kali dalam sejarah manusia membuka mata orang tentang hakikat dan rahasia kapitalisme yang membuat orang miskin relatif makin miskin sedangkan orang kaya kok relatif membubung makin kaya saja. Maka persis dengan yang dilakukan para perintis RI dulu, termasuk yang tekun beragama seperti Mohammad Hatta, Sjafruddin Prawiranegara, atau pemuda Indonesia Arab, Baswedan, "beberapa" teologi pemerdekaan tadi belajar memahami dan memanfaatkan "beberapa" analisis (manusia ilmuwan) Karl Marx yang relevan dan empiris benar demi pemerdekaan kaum miskin dan belenggu eksploitasi kapitalisme, kolonialisme, imperialisme. Tanpa harus menjadi marxis.

Jadi sah dan wajar saja, bahkan sejajar dengan jiwa Pancasila, karena "beberapa" analisis Marx memang betul dan dialah yang pertama dalam sejarah bangsa manusia mengungkapkannya secara ilmiah, sehingga diakui benarnya oleh para ilmuwan dan negarawan dunia liberal sekalipun. Dan begitu mengilhami dan memperkukuh perjuangan para perintis kemerdekaan Indonesia dulu, khususnya Soekarno-Hatta.

Tapi teologi pemerdekaan lalu dibuat heboh, tentu saja oleh mereka yang terkena. Kemudian orang dan ahli teologi Nasrani yang jujur hati, juga di negara kapitalis maju, bertanya (lepas dari Karl Marx): mengapa kok baru di akhir abad ini refleksi iman tentang pemerdekaan kongkret manusia dina, lemah, miskin semacam itu timbul eksplisit dan ilmiah? Bukankah itu terlambat namanya bagi umat yang mengacu diri kepada Alkitab dan Wahyu serta keteladanan Yesus? Setiap orang Kristen yang jujur akan menjawab: Ya, sangat terlambat. Mengapa?

ltu antara lain terjadi karena sekian puluh abad teologi dilakukan terutama oleh kaum terpelajar yang berafiliasi dengan kaum ningrat dan penguasa dunia, dengan bisnis dan dunia uang kolonial imperial. ltu akibat getir perkawinan agama Katolik selama sekitar 1.700 tahun dengan kekuasaan politik negara, dominator ekonomi dan kultur istana ningrat ataupun pedagang dan industrialis.

Sesudah Gereja Katolik di abad ke-19 dicerai paksa oleh Garribaldi dan kaum nasionalis Italia dari kekuasaan negara duniawi, barulah Gereja merdeka dari dunia istana dan politik kekuasaan. Sehingga dapat mulai lagi mengevolusi (yang masih memerlukan waktu lama) kembali ke tujuan dan tugas hakiki pengikut Isa dari Nasaret yang lemah lembut, yang miskin dan menderita, sebagai konsekuensi ajaran-ajaran-Nya tentang kejujuran, kebenaran, keadilan, kecintaan: dengan ciri sikap khas non-violence. Sehingga segala teologi pemerdekaan yang Kristiani sejati selalu berpijak pada prinsip tanpa kekerasan (yang tak identik dengan sikap lembek dan pengecut serba suka mengalah saja).

Tak semua teologi pemerdekaan memakai analisis sosial Karl Marx. Sistem dan struktur kapitalisme dan realitas eksploitasi manusia oleh manusia dapat diterangkan dengan cara lain juga. Memang, tak ada analisis manusia tentang manusia yang 100% benar seputih salju dan 100% salah sehitam arang di dunia manusia ini. Justru karena itulah kita dianugerahi daya pikir, citarasa; dan intuisi, apalagi iman, oleh Tuhan untuk menyaring mana yang punya unsur-unsur kebenaran dan mana yang mengandung partikel kekeliruan.

Berkaitan dengan teologi pemerdekaan, tapi lepas dari pemanfaatan beberapa dalil Karl Marx atau tidak. Jelaslah bahwa rohaniwan sejati tak berpolitik dalam arti aktif terjun dalam pergulatan kekuasaan atau power plays politis, ekonomis, sosial, kultural. Dunia kekuasaan bukan dunia rohaniwan yang masih punya harga diri serta sense of morals and ethics.

Namun, rohaniwan juga makhluk sosial warga masyarakat dan negara. Jadi tetap wajib berpolitik. Tapi politik dalam arti lain, yang lebih asli, yakni menyumbang apa pun ia mampu demi kepentingan dan kesejahteraan jiwa raga masyarakat. Masyarakat umum. Bukan hanya demi golongan seagamanya sendiri. Tidak dalam the realm of power, tapi demi the common good, wilayah kebenaran, kejujuran, keadilan, penyembuhan, cinta kasih, pemerdekaan dan perdamaian, dan sebagainya, agar orang dan masyarakat makin memerdekakan diri, manusiawi, adil, beradab, alias merealisasikan kehendak Tuhan.

Gatra, 07-09-1996


MENGHORMATI RAHASIA JABATAN  



SETIAP perwira maupun prajurit tahu, rahasia militer harus dijaga, dilindungi. Pengkhianatan kerahasiaan militer dihukum berat, bahkan sampai bisa dihukum mati. Tidak hanya kaum militer yang dibebani kewajiban menyimpan rahasia jabatan. Juga dokter, perawat, bidan, advokat, hakim, polisi, notaris, manajer perusahaan, redaksi pers, pejabat bank, sekretaris (dari kata secret), bahkan sopir pribadi, pembantu rumah tangga, dan teristimewa kaum rohaniwan, pastor, pendeta, kiai, guru, penasihat pribadi. Pendek kata: pribadi-pribadi yang dilimpahi kepercayaan. Yang dari profesinya dan demi nilai-nilai moral kolektip yang luhur diwajibkan tidak akan mengkhianati pihak yang mempercayakan suatu rahasia kepadanya.

Kewajiban menyimpan rahasia jabatan sering amat berat dan penuh risiko, namun wajib dipatuhi demi berjalannya masyarakat dan negara yang sehat , adil, berkemanusiaan dan beradab. Dalam negara/masyarakat kerajaan mutlak, diktatorial, fasis atau komunis, rahasia tidak dihormati. Mata-mata, informan, penyadapan percakapan bahkan pengkhianatan di dalam keluarga dihalalkan karena pemerintah di situ mempertuhankan diri.

Sendi religius dan kemanusiaan

Sendi-sendi nalar maupun moral apa yang mendasari secara khusus rahasia jabatan maupun seumumnya penghormatan kepada rahasia seseorang? Pertama dasar religius. Namun juga dasar kemanusiaan dan kebudayaan yang ningrat jiwa.

Kita menghormati martabat manusia lain seutuhnya. Jadi termasuk juga rahasia atau misteri pribadi yang ada pada setiap manusia. Misteri di sini tidak dalam arti misteri cerita detektip, atau rahasia senjata sandi militer. Lebih dari itu: misteri dalam arti kesucian, sesuatu yang mulia, amat mendalam dan berharga, sehingga jangan dilempar, dijamah sembarangan. Signifikan penuh makna ialah kata dalam bahasa Jawa wadi (= rahasia) untuk organ kelamin manusia yang sepantasnya ditutupi, dilindungi tirai penghormatan.

Segala yang suci dan sangat berharga tidak dipamerkan di tepi jalan pasar. Wadi, rahasia suci dilindungi karena dihormati. Justru karena itulah manusia berpakaian, karena bermartabat. Busana manusia pada instansi terakhir menunjukkan kehormatan serta martabat manusia. Oleh karena itu manusia yang beradab dan menghormati orang lain tidak telanjang dalam arti fisik harfiah maupun kiasan dan rohani.

Manusia hanya telanjang bulat total di hadapan Allah Yang Mahatahu segala-galanya tentang diri manusia sampai pada serat paling halus dari hati- sanubarinya. Hanya di hadapan Tuhan dan di hadapan manusia yang penuh kita percayai (suami, istri, dokter, bidan) manusia menelanjangi diri tanpa turun derajat. Sebaliknya, manusia terpercaya tersebut (suami, istri, orangtua, dokter, bidan, psikiater, rohaniwan, sahabat intim) membawa kewajiban berat untuk merahasiakan wadi (harfiah fisik maupun dalam arti kiasan, psikologis dan moral) yang dipercayakan kepadanya. Tanpa penghormatan serta jaminan rahasia jabatan dalam segala bentuk maupun profesi, maka bangsa, negara dan masyarakat menjadi hewani. Bahkan melorot lebih rendah daripada binatang, karena hewan pun relatif berbusana.

Maka spontan alamiah, berdasarkan etika pergaulan sehat manusiawi, siapa pun termasuk aparat pemerintah tidak sepantasnya memaksa seseorang untuk mengkhianati rahasia ayah, ibu, istri, anak, kakak, adik, sahabat karib mereka. Apalagi kaum profesional yang memang bertugas menyimpan rahasia jabatan.

Masyarakat yang sehat membutuhkan manusia-manusia yang dapat kita percayai isi hati atau rahasia pribadi. Penasihat dan pelindung setia amat diperlukan oleh jutaan manusia dalam kesesakan dan penderitaan. Meskipun penderitaan itu boleh jadi buah kesalahannya sendiri, namun manusia memerlukan tempat suaka di mana rahasia yang dipercayakan oleh manusia yang satu kepada yang lain dapat terlindung. Demikianlah kehidupan antarmanusia dapat sehat dan beradab, karena warga masyarakat tidak tersengat panas terus-menerus karena tiadanya oase keteduhan serta ketenteraman hati, meski tidak sempurna. Masyarakat dan negara tanpa penghormatan kepada rahasia akan ambrol dari dalam, disintegrated.

Kepercayaan bahwa orang tidak akan dikhianati adalah sungguh soko guru mutlak perlu dalam setiap pergaulan hidup yang sehat. Tidak semestinya semua orang menjadi hakim. Pers pun tidak. Juga tidak semua orang bertugas selaku jaksa, polisi, reserse, intel, informan, mata-mata atau hansip untuk menyeret sesama manusia yang salah ke penjara. Apalagi dokter, bidan, perawat, advokat, dokter, rohaniwan. Profesi mereka justru mewakili dimensi lain dari hidup bersama masyarakat, yakni dimensi yang menyembuhkan luka, yang menghibur, yang meringankan beban ketakutan, menenangkan jiwa, bimbang, bingung, takut, kacau atau teraniaya, rasa bersalah. Kalaupun mereka salah, jalan menuju perbaikan sangat lainlah daripada yang ditempuh polisi, jaksa, hakim, penjara.

Selain itu, dalam situasi di mana hukum tidak dilaksanakan baik dan hakim masih dapat dibeli: perlindungan terhadap kesewenang-wenangan amat dibutuhkan. Juga untuk menghindari frustrasi yang menelurkan amuk huru-hara dahsyat yang lebih mencelakakan masyarakat.

Etika praduga tak bersalah

Kepercayaan adalah sendi yang amat vital agar masyarakat dapat berfungsi sehat, spontan, alamiah menurut kodrat manusia yang manusiawi. Hanya pada taraf manusialah makhluk hidup mengenal yang disebut percaya dan dapat dipercaya. Dalam hubungan antarsahabat, namun juga institusional lewat suatu kode etika yang tertulis maupun tak tertulis. Rahasia yang dipercayakan spontan, alamiah, manusiawi, kepada misalnya ayah, ibu, istri, suami. anak, kakak, adik, sahabat karib, harus dihormati oleh warga masyarakat maupun negara. Apalagi dokter, bidan, perawat, advokat, sekretaris dst., teristimewa kiai, pastor. Mereka bukan hansip, mata-mata, atau intel, bukan polisi, atau jaksa.

Polisi pun, jaksa, pers dan aparat negara, menteri dan panglima pun harus menghormati etika kewajiban menyimpan rahasia jabatan mereka. Kita ingat pada jiwa ksatria H.B. Jassin yang tegar, teguh merahasiakan nama sebenarnya dari penulis cerpen Ki Panjikusmin yang ia muat sebagai redaksi yang bertanggungjawab dalam majalah Horison. Sampai Pak Jassin yang berbudi ningrat terkena sendiri oleh hukuman Pengadilan Negeri. Tetapi namanya harum 'abadi' karena tidak pernah membocorkan rahasia jabatannya.

Demikianlah praksis praduga tak bersalah menjadi ciri negara hukum, yang berkemanusiaan, adil dan beradab. Tidak boleh nama terang apalagi foto atau video TV si terdakwa dibuka (baca: ditelanjangi) di muka umum sebelum Pengadilan yang sah lewat prosedur yang sah memutuskan final.

Wilayah politik bukan wilayah kriminal

Dalam hal ini kita harus tajam membedakan kesalahan politik dan dosa kriminal. Juga tahanan politik dan tahanan kriminal. Melindungi buron politik yang mempercayakan diri kepada rasa kemanusiaan dan belas-kasih kita bukanlah dosa (peccatum) di hadapan Allah. Tentu saja itu penuh risiko karena bisa dipersalahkan (poenalis) oleh pemerintah (manusia) karena musuh yang diobati, dilindungi dan sembuh lagi jelas sekali dapat menjadi lawan yang amat merugikan kawan. Tetapi apa boleh buat, justru itu risiko kepahlawanan sikap moral dokter atau petugas Palang Merah yang mengobati dan merahasiakan identitas pasien perwira musuh atau buron politik. Demikian juga pengacara, redaksi pers, manajer, bidan dan teristimewa rohaniwan atau ayahanda, ibunda buron itu sendiri yang diserahi kepercayaan. Berat tetapi mulia, budiwan, situasi terjepit sikap moral mereka.

Namun pemerintah yang berkemanusiaan, adil dan beradab pastilah juga menghormati realisasi rahasia jabatan. Tidak hanya dalam soal rahasia militer melulu. Tidak ada pemerintah yang terhormat akan mempersalahkan seorang dokter atau pengacara atau rohaniwan atau redaksi yang merahasiakan idenntitas dan keselamatan klien, pasien atau pemercaya rahasia. Selama Perang Dunia ke-2 ribuan buron politik Hitler dan Stalin disembunyikan oleh Palang Merah, rohaniwan, biarawan, petani dan penduduk biasa yang masih punya hati nurani, rasa kemanusiaan, dan budaya luhur. Dengan segala risiko terkena sendiri oleh pembalasan dendam Gestapo atau KGB. Tetapi itulah memang kode etika kerahasiaanjabatan yang sudah diakui oleh bangsa-bangsa modern yang beradab. Jadi sebetulnya persoalan amat sederhana (meski harus diakui tidak sederhana juga) kita modern, manusiawi, adil dan beradab atau belum.

Perkecualian

Pejabat profesi-profesi tadi baru bebas dari kewajiban rahasia jabatannya bila pejuang politik memakai kekerasan atau alat dan cara jahat alias kriminal. Atau membahayakan orang-orang tak bersalah. Perlu dipertimbangkan juga prinsip minus malum (memilih yang buruk untuk menghindari situasi lebih buruk) untuk menghindari malapetaka yang lebih besar dan merugikan masyarakat umum atau menyelamatkan korban-korban orang tak bersalah. Dalam keadaan itu kewajiban menyimpan rahasia jabatan boleh ditawar. Namun hanya bila kasus berciri kriminal. Dengan catatan, jawaban umum seragam untuk kasus-kasus konkret tidak ada. Harus dipertimbangkan dan diputuskan kasus per kasus.

Pentinglah diketahui, bahwa konvensi rahasia jabatan tidak dimaksud agar orang dapat lebih mudah menghindari hukuman adil dan sah. Namun karena mengakui kenyataan bahwa kehidupan real sangatlah kompleks, jarang orang menghadapi situasi ideal, putih saja atau hitam saja seperti dalam lakon wayang. Pilihan hampir selalu antara yang buruk dan lebih buruk. Di samping keadaan (langka?) antara yang agak/cukup baik dan lebih baik. Apalagi dalam masyarakat serba majemuk norma baik buruk sering amat realtif. Bagi kaum elite, penggusuran ladang sawah demi lapangan golf lebih produktif, jadi baik, sedangkan bagi petani sederhana merupakan lubang maut. Bahkan bagi menteri yang satu, industri teknologi yang paling canggih identik dengan yang paling menguntungkan negara, sedangkan bagi menteri lain justru merugikan kesempatan kerja massa seratus sekian juta rakyat.

Dalam situasi serba kontroversial tanpa tersedianya satu jawaban tunggal yang pasti (apalagi fair play amat langka dan perlindungan hukum amat lemah) banyaklah orang menderita batin karena si kuat selalu menang dan dimenangkan. Maka perlindungan serta pengobatan luka-luka (harfiah dan kiasan) amat diperlukan agar frustrasi dan amuk massal dapat dihindarkan.

Jangan sampai suasana kepercayaan masyarakat kepada profesi- profesi pelindung rahasia hancur sama sekali sebagai akibat keadaan tanpa perlindungan. Sehingga setiap orang terpaksa harus cari selamatnya sendiri-sendiri. Maka atmosfer umum akan teracuni fatalo leh kebiasaan saling rnengkhianati. Bila seluruh suasana kepercayaan rnasyarakat roboh karena iklirn curiga-rnencurigai rnelihat orang lain sebagai pengkhianat potensial, dan bila sudah tidak ada lagi pribadi integer atau lembaga yang bisa dipercayai rahasia, maka anarki hutan rimba raya yang saling ganyang-mengganyang akan merajalela.

Kemudian, siapa yang paling diharapkan oleh setiap masyarakat untuk tetap integer? Yang dapat dipercaya tidak selalu otomatis memihak si kuat, si jago? Sehingga dapat dipercayai rahasia-rahasia pribadi? Jelaslah, para rohaniwan, intelektual, dan para hakim serta ahli hukum. Ditambah rnereka yang secara nonprofesional tetapi alamiah adalah pelindung rahasia pribadi: yakni orangtua, suami-istri, kakak-adik, sahabat karib.

Kompas, 06-09-1996


KIRI DAN KANAN DALAM "SPRACHSPIELE"  



SEKARANG tudingan kiri dianggap buruk, musuh negara dan bangsa. Tetapi aneh, predikat kanana disukai juga, apalagi ekstrem kanan.

Sebutan tengah jarang dipakai tetapi kadang-kadang ada pula yang berkata: "Awas ekstrem tengah." Lucu dalarn logika, tetapi di Indonesia tidak aneh. Misalnya perintah lalu-lintas: "Ke kiri boleh terus" atau " yang naik sepeda harus turun." Rupa-rupanya arti dan isi kata tidak begitu penting, Yang penting: tahu sendiri apa yang saya sukai dan tidak.

Kata sifat ekstrem kiri kurang-lebih sama dengan pembunuh, perampok, dan segala yang dari neraka. Ekstrem kanan kira-kira sama juga artinya. Bedanya: ekstrem kiri itu ateis, sedangkan ekstrem kanan 200 persen anti ateis, sehingga anti x anti-ateis = ateis = iblis juga. Ekstrem tengah artinya bukanlah bukan ekstrem kiri dan bukan juga ekstrem kanan, itu netral istilahnya. Tetapi: ya ekstrem kiri ya ekstrem kanan, sehingga tidak mungkin. Alias dilarang.

Para kaum terpelajar (yakni para pembaca artikel ini) diharapkan tidak usah geleng-geleng kepala atau bingung bila mendengar istilah-istilah kiri, kanan, tengah, karena bahasa itu memang hidup dinamis. Menurut sang filsuf yang tergolong paling cerdas di abad ke-20, yakni Ludwig Wittgenstein: Dalam berkomunikasi dengan bahasa, kata-kata tidak pernah punya arti baku apalagi kaku. Misalnya jika seorang psikiater berkata: chauvinistic pig Si Anu sadis. Dan seorang anak SD kelas 3 jengkel menangis: Ibu guru saya sadis. Maka kata sadis dalam dua pemakaian itu jelas tidak sama artinya. Demikian juga jika seorang jenderal menuding : komunisme! Dan seorang profesor sosiologi atau filsafat sosial sedang berkuliah tentang komunisme, maka dua kata atau filsafat sosial sedang berkuliah tentang komunisme, maka dua kata yang sama bunyinya itu tidak sama artinya. Wittgenstein si cendekiawan dari Wiena yang akhirnya mengajar di Inggris tadi menerangkannya begini:

Peringatan Ludwig Wittgenstein

Manusia dan komunitas manusia selalu berbahasa dalam suatu Sprachspiel, (Sprache=bahasa, Spiel=permainan) permainan bahasa (SS-PB) tertentu. Semua kata mendapat artinya di dalarn pemakaiannya. Ibaratnya: bola tenis di lapangan tenis Yayuk Basuki punya fungsi serta arti lain dari bola tenis yang di halaman desa hiruk-pikuk ditendang-tendang oleh 17 anak yang bermain sepak bola. Bola dalam permainan bola sepak dalarn arti soccer (yakni bola sepak yang populer di Indonesia) yang oper-operan elegan, tidak boleh disentuh tangan. Bertolak-belakang dengan permainan yang namanya football (di Indonesia belum ada) yang justru diperebutkan dengan tangan dalarn gulung-gemulung keroyokan kasar.

Bunyi padu dalam bahasa Jawa artinya bertengkar mulut. Dalam bahasa Indonesia justru positif: bersatu-padu rukun banget. Sudah ribuan tahun, demikian peringatan si Wittgenstein yang cerdas itu, manusia saling bertengkar dan pbrperang tentang kata-kata (bukan realitas) dalam 1001 sengketa teori filsafat dan politik, tanpa sadar bahwa ada Sprachspiel atau Permainan Kata yang amat berperan dan harus amat diperhatikan.

Seorang warga desa dalam rapat kelurahan berapi-api mendesak: "Pak Lurah harap mengabulkan ambisi kami, membangun WC umum." Yang dimaksud ambisi: usulan. Gadis pabrik pun sudah berkata: "Nik, jangan mau dilamar dia, paradigmanya lain. Petani Gunung Kidul: "Ah Romo, jangan percaya. ltu kan cuma analisis." Yang dimaksud isyu tanpa dasar. Last not least, setiap orang tahu perbedaan arti berdamai di setopan merah kuning hijau dan dalarn perundingan Fidel Ramos - Nur Misuari.

Oleh karena itu kata-kata komunis, kiri, kanan, tengah, pembangunan, persatuan, demokrasi, subversif, sosialis, kapitalis, marxis, bahkan Pancasila, UUD 45 dst. harus sungguh kita perhatikan digunakan dalam Sprachspiel Permainan Bahasa (SS-PB) yang mana.

Dalam “Sprachspiel" terpelajar internasional

Sekarang kita berwacana dalarn SS-PB bahasa terpelajar umum yang berlaku di seluruh dunia, khususnya di kalangan Generasi 1928, para perintis kemerdekaan bangsa kita yang intelektual itu.

Kini artinya: melawan Establisment mana? Tentu saja sistem kapitalis kolonial imperial feodal kaya kuasa Hindia Belanda yang sudah kokoh mapan seperti pohon beringin atau karet tua. Dalam SS-PB perjuangan: penjajah asing conquistador dan pribumi komprador, feodalis, monarkis, borjuis, pendek kata, para tuan-puan besar konservatif reaksioner mapan yang menghisap kaum buruh dan merugikan petani serta kaum kecil lainnya.

Jadi kaum kiri ialah mereka yang memperjuangkan buruh tani kecil, kawulo alit yang tersisih, tergusur, tercekik. Praktis waktu itu kaum demokrat dan sosialis.

Bagaimana komunis? Komunis ketika Marx masih hidup masih kaum kiri, tetapi cepat sekali sesudah mulai berkuasa di Rusia, Cina, Eropa Timur, apalagi di Asia Tenggara (lihat Stalin, Mao, Pol Pot) berubah menjadi ekstrem kanan. Di Rusia dulu yang berjalan sehari-hari ialah Stalinisme yang sama dengan Tsarisme (Tsaar = maharaja) berabad-abad, di Cina berfungsi sama dengan kekaisaran Tiongkok yang sudah ribuan tahun umurnya, dan di Karnboja tidak beda dari fasisme Hitler yang sukanya membunuh orang yang tidak disukai si kuasa. Jadi alangkah kelirunya kalau kita kategorikan kaum komunis sebagai kiri.

Nazi Hitler, Fasisme Mussolini, Militerisme Jepang Perang Pasifik? Fasisme disukai kaum psikopat gila kekuasaan dan keagungan. Jadi selalu ekstrem kanan dan benci bukan main pada kaum komunis, saingan paling besar nafsu kuasa mereka. Maka kelihatan sekali di Eropa, Asia, Afrika, Amerika Latin, kaum ekstrem kanan punya ciri fasisme yang kejam dan selalu punya dalil: Hukum adalah partai kami. Suatu modifikasi modern sok-republik dari dalil Maharaja Louis XIV dari Perancis sebelum Revolusi: L 'etat c 'est moi (Hukum adalah aku).

Amerika Serikat? Jelas yang berkuasa kaum majikan dan kaum kaya-raya yang amat berkuasa. Dengan sendirinya kanan, tetapi tanpa ekses-ekses fasisme dan kediktatoran. Demokrasinya lumayan. Tidak sempurna karena masih kumat-kumatan Wild West dengan perangai kaum Rambo yang masih kental, ditambah kambuhan ekstrem kanan di bagian Selatan, tetapi kemanusiaan dan rule of the game dilaksanakan dalam tata-hukum yang baik. Mungkin dapat diformulasi dalam lingkungan SS-PB tadi: amat kanan tanpa menjadi kanan sungguh.

Eropa Barat terang kanan tetapi lebih kiri daripada USA. Yang kekiri-kirian ialah Skandinavia, Denmark, Belanda, meskipun kebanyakan monarki konstitusional. Rusia, Polandia, Ceko, Balkan masih dalam gejolak perubahan yang penuh pertanyaan.

Amerika Latin seumumnya amat kanan. Afrika, Timur Tengah, dan Asia sulit dipukul rata. Lalu sekarang, pertanyaan penting yang pasti tak sabar Anda nanti, baik dengan tersenyum maupun mengernyit: bagaimana Indonesia?

Para pembaca lebih berhak menilai daripada penulis. Yang jelas, Generasi 1928, para perintis, pemikir, pendiri, perumus Pancasila dan UUD 45 Rl kita, termasuk yang Muslimin saleh (contoh-utamanya Mohammad Hatta), semua kaum kiri. Mungkin para pembaca akan amat terkejut membaca ini, dan pasti ada yang langsung menelpon aparat keamanan atau redaksi media massa yang memuat karangan ini: awas PKI, awas Marxis. Namun sudilah tenang terpelajar, penulis tidak sebodoh atau semurtad itu untuk masuk barisan PKI, meski hanya komunis kesiangan. Tetapi sungguh benar Pak Sjafruddin Prawiranegara almarhum yang amat saya hormati, ketika beliau (ingat, beliau Generasi 28, bukan generasi lain) berkata kepada saya dan tidak pernah akan saya lupakan seumur hidup: yakni bahwa manusia yang beragama dan beriman tidak bisa lain, ia pasti kiri. Saya setuju. Manusia beriman apalagi beragama yang membela penjajah dan majikan pemeras, kaum kolonial imperial feodal komprador fasis yang suka mendakwa, menganiaya, dan menteror,'kan namanya pengkhianat terhadap jiwa serta haluan hidup yang dipilihnya.

Tetapi jangan juga lalu mengatakan babwa para Nabi besar, khususnya Isa dari Nasaret itu berhaluan kiri. Nah, ini latius hos namaya dalam ilmu logika, melampaui premis-premis logis yang tersedia.

Seperti bila orang berkata: Si A suika jas berwarna merah. Jadi si A komunis. lni kesimpulan tidak cerdas. Latius (baca, lacius) hos. Lengkapnya: Latius hos quam premissae conclusio non vult (Kesimpulan tidak mau lebih luas dari premis-premis).

Di SS-PB Republik Indonesia Asli

Nah, sekarang kita paham dan sadar, mengapa Pancasila, RI 17 Agustus 1945 yang dibuahkan Generasi 1928 itu sungguh berjiwa kiri. Jikalau Anda dengan marah tidak dapat menerima rumusan yang memang (sekarang, dulu tidak) menggoncangkan jiwa itu, bolehlah; kita katakan lebih moderat: tidak berjiwa kiri tetapi amat sangat jauh sekali dari kanan.

Maka dalam SS-PB yang tetap sama tadi itu, kaum kiri amat terhormat dan kaum republikan RI 17 Agustus 1945 selayaknya bangga dan bahagia bila dituding sebagai kiri. (Ingat: komunis itu ekstrem kanan). Paling tidak saya sebagai pembela RI Proklamasi Soekarno-Hatta yang jelek-je1ek pernah menjadi prajurit kroco dari kroco dalam Divisi III Batalyon X Kompi Zeni 1945-1946, apalagi sekarang sebagai rohaniwan yang masih tetap juga kroco dari kroco, akan frustrasi setengah mati merasa hidup gagal bila disebut orang berhaluan kanan.

Tetapi jika kita masuk dalam Sprachspiel yang lain, atau seandainya Republik Indonesia itu sudah menjadi lebih dari yang diproklamasikan pada tanggal tersebut, nah kalau begitu memang selayaknya Anda bingung, takut bila didaftar sebagai kaum kiri atau kekiri-kirian. Namun lepas dari itu semua, agar esei ini tidak terlalu seram dan menggetarkan, mungkin kita dapat menenangkan hati, menghibur diri dengan kesadaran ini: terserah tidak ambil pusing Sprachspiel apa pun yang sedang dimainkan, kita harus bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Arif, bahwa dalam diri kita semua (kecuali yang abnormal), perut terletak di sebelah kanan, tetapi jantung di sebelah kiri. Saya kira tepat sekali.

Kompas, 14-09-1996


This page is powered by Blogger. Isn't yours?