<$BlogRSDUrl$>

Friday, February 27, 2004

DJOCJACARTUM ESSE DELENDUM  



CETERUM censo, Djocjacartum esse delendum (Bagaimana pun saya berpendapat. Yogyakarta harus dihancurkan) demikian telegram 4 Agustus 1947 Letjen Spoor kepada atasannya. Jenderal Kruls di Den Haag, meniru Senator Cato Kekaisaran Romawi Kuno ketika menghadapi kota Kartago Mesir (Carthaginem esse delendam). pusat kekuasaan saingan.

Kini studi lengkap tentang rencana-rencana (juga intrik-intrik) politik dan militer dulu dari pihak Belanda telah terbuka. Ternyata “Aksi Polisional" Juni 1947 (yang oleh Orde Baru disebut Perang Kemerdekaan) dengan nama sandi Product bersasaran penguasaan daerah-daerah ekonomi seperti perkebunan, pabrik, dan sebagainya. Waktu itu Belanda hampir bangkrut akibat budjet 3 juta gulden/hari melawan RI. Sjahrir tahu itu, maka ia tidak tergesa-gesa dalam berunding sambil memanfaatkan kejengkelan Inggris pada sikap kaku Belanda. Sehingga tentu saja Den Haag lebih jengkel lagi. Van Mook yang amat mengenal watak Revolusi Indonesia sebenarnya sudah berkesimpulan harus berunding dengan RI yang praktis berarti pengakuan RI. Tetapi perundingan perlu diiringi paksaan militer.

Di pihak RI soal militer digarap secara revolusioner. Pokoknya jalan terus entah seperti apa sulitnya dan tak seimbangnya. Jumlah pejuang prajurit tak diragukan berlimpah. Semangat juang yang sanggup berkorban jiwa luar biasa hebat nyalanya, tetapi persenjataan dan segala logistik serba kurang. Lagi susahnya setiap laskar pasti punya Bagian Siasat dan Bagian Penyelidik (intel) dan tentu saja komandan berkedaulatan rakyat sendiri-sendiri yang semua berlomba emosional merasa punya siasat paling jitu; terpaksanya dengan bambu runcing atau arit. Maka koordinasi dari atas sampai bawah amburadul serba improvisasi atau baru di atas kertas. Pada waktu itu terkenal sekali jenis pemuda sok pahlawan, yang oleh rakyat diejek dengan nama koboi, pejuang jauh di belakang garis perang yang suka jual tampang sok patriot, sampai dilagukan dalam sajak dan nyanyian seperti:

Di Malioboro kaki-lima
si koboi melawan Belanda
Sepatu lars peci miring
thak thok thok gagah keliling
Rambut panjang seram terurai
sabuk pelor pedang samurai
keris komplet tas siasat
nyerang NICA taktik hebat
Di perut nonjol duhai pistol
tapi sial terpeleset konyol
Duuh kasihan tertelentang
terkena ranjau kulit pisang.

Spoor Lawan Schilling

Dua singa, Letjen Van Oyen, Pangab Hindia Belanda, dan Admiral Helfrich ingin segera menerkam RI, akan tetapi untung mereka di bawah komando Lord Louis Mountbatten, panglima tertinggi Sekutu di Asia Tenggara yang tak suka konflik dengan RI dan mendesak agar Belanda mau berunding dengan kaum Republik. Akhir Desember 45, dalam konferensi tertinggi militer di Den Haag, Mayjen W. Schilling memperingatkan bahwa kedudukan militer Belanda amat lemah. Ketika masih muda ia pernah berperang di Aceh dan sekarang melihat sendiri kegigihan pemuda-pemuda Indonesia di sekitar Jakarta. Menurutnya untuk menguasai Jawa-Sumatera diperlukan 70.000 sampai 100.000 tentara. Dan mana lagi, perang akan mengosongkan peti harta kerajaan serta minta waktu minimal 3 tahun. Dan pasti korban amat banyak akan berjatuhan dalam perang gerilya. Jangan coba main hantam.

Schilling sebetulnya sudah dicalonkan menjadi pengganti Van Oyen yang tidak disukai Inggris (Helfrich juga) karena terlalu banyak membuat provokasi bersenjata sehingga merepotkan pelaksanaan tugas Inggris menyelamatkan tawanan Sekutu dan perlucutan tentara Jepang. Nasib sejarah, Den Haag akhirnya memilih singa Spoor yang agresif sebagai Pangab.

Van Mook realistik: condong ke pendapat Schilling. Tidak percaya pada penyelesaian militer. Tetapi akhirnya penuh frustrasi ia mengalah pada Den Haag dan komunitas sipil dan militer Belanda di Batavia yang menginginkan meriam berbicara. Djocjacartum esse delendum.

Tetapi yang disebut "Aksi Polisional" 1947 macet, sebagian besar buah hasil diplomasi Sjahrir di Dewan Keamanan PBB dan dukungan penuh Nehru, Konferensi Asia, Australia, Ukraina dan lain-lain yang menuntut genjatan senjata. Tetapi rencana menyerang Yogyakarta dan pusat-pusat perlawanan RI di Sumatera berjalan terus, walaupun menurut taksiran intelijen Belanda(1945), TNI di Jawa sudah sekuat 94.000 prajurit dan di Sumatera 73.000 prajurit ditambah sekian banyak laskar. Hanya 25 persen bersenjata api tua. Spoor, lain dari Schilling, percaya bahwa dengan strategi "ujung tombak" serangan kilat pasukan-pasukan panser dan bermobil kepacla kota-kota penting, segera perlawanan RI akan dihancurkan. Dan bila Soekarno-Hatta serta pimpinan tertinggi TNI dilumpuhkan, maka seluruh RI akan ambrol.

Jaringan mata-mata Belanda efisien. Seluruh siasat TNI dan rencana pemerintah RI jika diserang sudah diketahui Spoor dan Van Mook. Brigade-brigade pencegatan diatur rapi. Maka 19 Desember 1948 pagi perang besar-besaran dengan nama sandi Krasi (Gagak) diledakkan. Ke Yogyakarta dan Bukittinggi.

Operasi Gagak

Dua kompi pasukan payung dari Bandung dengan bantuan Korps Pasukan Khusus (yang tersohor pernah dipimpin Westerling) dan dua batalyon 1-5 RI dan 5-RS yang disertai serangan roket ke Benteng Vredenburg di muka Istana Presiden, mendadak menyerang Yogyakarta di tengah perundingan lindungan PBB di Kaliurang. Yang dibalas lebih simbolis daripada taktis militer oleh Pengawal Presiden RI, karena Yogyakarta kosong TNI. Bung Karno, Bung Hatta dan sejumlah besar pemimpin RI ditawan. Tetapi Jenderal Sudirman serta sekitar 345.000 gerilyawan (1948) tambah rakyat tak terhitung di Jawa dan Sumatera masih merdeka dan di mana-mana membalas serba tak kelihatan dari segala arah sehingga tank dan panser tidak banyak gunanya. Strategi Spoor gagal total dan siasat politik pemerintah Batavia maupun Den Haag rontok karena dilawan oleh semua negara boneka bikinan mereka sendiri. Celakanya Nederland ditorpedo oleh Amerika Serikat dengan ditundanya bantuan ekonomi Marshall Plan sehingga ekonomis nyaris bangkrut.

Namun situasi militer tetap macet. TNI dan laskar-laskar Indonesia tidak dikalahkan tentara Belanda. Tetapi TNI dan laskar kita juga tidak mampu mengalahkan tentara Belanda. Remis namanya bila main catur. Seandainya perang masih diteruskan satu tahun, pasti secara militer Belanda akan kalah juga, tetapi keadaan rakyat seumumnya sudah begitu parah menderita tujuh tahun sejak Jepang masuk, sehingga terobosan cepat mutlak diperlukan. Terobosan kemenangan itu datang dari diplomasi Soekamo-Hatta-Roem yang meneruskan garis strategi dasar Soetan Sjahrir. Sejalan dengan Atlantic Charter, lewat jalan damai.

Tidak Tahu Terima Kasih

RI jaya berkat tekad ingin merdeka seluruh rakyat biasa yang paling berkorban dan paling berjasa dalam konfrontasi fisik militer yang dituntun oleh kecerdasan umum para pemimpin terpelajar mereka. Jikalau kita sekarang berbincang-bincang dengan generasi baru di Nederland ataupun yang sudah tua dan pernah menjalani dinas militer di bawah Spoor, mereka sungguh merasa sayang bahwa nasion mereka dulu tidak paham akan situasi sebenarnya. Sebab waktu itu, oleh perintah dan kaum politisi mereka, tentara dan rakyat Belanda seumumnya mendapat indoktrinasi bohong bahwa mereka dikirim ke Indonesia untuk membela rakyat Indonesia melawan kaum teroris, istilah sekarang Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) yang dihasut oleh kolaborator Jepang bernama Soekarno. Hatta? Tidak, Hatta dalam mata mereka terhormat, tetapi nah itu yang namanya Soekarno, dia itulah si penghasut biang-keladinya.

Menurut Rijksvoor Lichtingsdienst (Dinas Penerangan Kerajaan) mayoritas bangsa Indonesia sebenarnya cinta kepada Belanda dan ingin tetap setia dalam Rijksverband (integrasi dalam kerajaan) Belanda. Mayoritas rakyat Indonesia menghendaki integrasi, begitu para politisi Belanda. ltu sudah dinyatakan jelas oleh para pemimpin Indonesia sendiri yang atas nama bangsa Indonesia berkonferensi dan membuat Deklarasi Malino (Sulawesi Selatan). Jadi para pemimpin RI yang dihasut Soekarno itu cuma minoritas kecil yang mengklaim diri pemimpin rakyat, tetapi berbahaya, karena punya pasukan liar yang dipersenjatai oleh tentara Jepang.

Kalau Anda berkesempatan membaca kliping koran-koran Belanda yang didokumentasi rapi dalam arsip-arsip sejarah di negeri kincir angin itu, maka memang di situ situasi digambarkan seolah-olah tentara Belanda itu dimohon oleh rakyat Indonesia untuk datang ke Indonesia agar melindungi rakyat menghadapi teror klandestin GPK pimpinan Soekarno dan Soedirman.

Dan lebih lucu lagi, opini publik, baik yang paling atas, politisi profesor doktor dan orang-orang yang mestinya intelektual berpandangan luas apalagi kalangan bawah , dalam paduan suara menuduh orang-orang RI itu orang yang tidak tahu berterimakasih kepada Belanda. Zeg, hoof es (dengarkan), begitu ujar mereka kepada orang-orang RI:

"Dulu ratus-ratus taon kutika kalian masi diperinta kamu punya raja-raja inlander sendiri, tida ada itu sekola, tida ada itu gedong batu bata ofpostkantoor. Verdomme (terkutuk kau) yang ada cuma ruma bambu atep daon klapa. Anak-anak telanjang dan bini-bini buka itu dada. Mandi cuma di kali dan tani cuma punya kerbau. Tapi apa yang orang Nederland buat ontuk kamu semua? Lupa? Wij (kami) Hollanders dateng bikin itu irigasi sawah ratus-ratus kilometer digali ontuk tani bangsa kamu. Jalan besar postweg 1000 KM terobos pula Jawa bawa kamu kultuur. Kereta Sepoor, jalan aspal sama jambatan besi tida kurang kami konstruksi. Ontuk kalian orang. Hindia dibikin makmoor sama Ratu Nederland. Ruma sakit di mana-mana, malaria samapest diberantas; wij Hollanders diriken sekolah renda, tenga, tinggi. Malah ada anak inlander bole sekola di Nederland, ada suda jadi officier (perwira) pake pedang perak, orang laki ajar pake pantalon jas dasi, yang prampuan ajar pake rok dan dada tutup. Verdomme sekarang kamu minta merdeka. Ini kan tida tau trimakasi. Malah kurang ajar itu exstremisten bicara perkara onze (kami) kalakuan kolonial sperti kepada budak belian balian anjing buduk. Putar balik fakta itu, hei!"

Maka poster-poster, pertemuan-pertemuan politik partai-partai dan perkumpulan mahasiswa anti fasis di sana memanggil para sinyo mereka:

"Hai kamu orang muda kerajaan yang cinta sama kamu punya adik-adik di Hindia. Rakyat di Sabuk-zamrut-yang-melingker-di-khatulistiwa minta dibebaskan dari Gerombolan Pangaco Keamanan tukang pidato itu Soekarno. Ayo ke Hindia Timur jadi militer. Ontuk kombaliken laghi rust en orde (kamtib) yang punya kultuur dan menjaga integrasi Rijksverband. Disebab putra-putri Ian Pieters-Zoon Coen ada punya missie suci di negri yang suda ratus-ratus taon diisep sama mereka punya raja-raja buas."

The Right of Self-Determination

Maka empat divisi dibentuk dan kapal-kapal mengangkut meriam tank-tank jip dan truk-truk sisa Perang Dunia II, dengan Spoor sebagai Pangab (Schilling dipensiun) yang final berkomando: Djocjacartum esse delendum. Ternyata, seperti di mana-mana, tidak ada tentara yang paling modern pakai panser dan pesawat pemburu dan roket pun dapat mengalahkan pejuang-pejuang gerilya yang didukung oleh seluruh rakyat. Yogyakarta tidak hancur tetapi Spoor terserang jantung dan meninggal. Van Mook sudah dipecat dulu oleh Den Haag, Wakil Mahkota Dr Beel yang memerintahkan Spoor untuk menyerang meletakkan jabatan dan hilang dari sejarah.

Tiga pelajaran sejarah Spoor-Schilling: Pertama, strategi berdasarkan emosi belaka dengan data-yang-disukai-saja serta siasat burung unta tidak-usah-melihat-mendengar-pihak-lain selalu keliru fatal. Kedua: klecintaan kepada kemerdekaan memang dapat ditembaki peluru dan kebohongan segala bentuk Rijksvoor Lichtingsdienst dapat saja bertahun-tahun menyiarkan berita-berita berat sebelah yang sudah disaring amat ketat oleh sensor dan intel. Akan tetapi jiwa merdeka penuh harga diri yang percaya kepada kebenaran tidak dapat dibunuh. Tekad merebut the right of self-determination memang dapat ditumpas dengan kekerasan militer dan mengorbankan ratusan ribu orang tak bersalah, akan tetapi anak cucu sampai puluhan keturunan akan menuturkan kepahlawanan perlawanan kaum merdeka dalam esai, sastra prosa dan puisi. Dan kakek-nenek akan mengisahkan sejarah perjuangan yang jaya maupun yang kalah sekalipun kepada anak cucu mungil sebelum mereka tidur. Maka yang ketiga, dan inilah hikmah terpenting Desember 1948: jangan meniru Belanda.

Kompas, 10-12-1996


ROHANIWAN TAK BOLEH BERPOLITIK? 



DI TAHUN 1945 dan selanjutnya semua kiai, pemimpin agama di Indonesia, termasuk Uskup A. Soegijapranata yang oleh Presiden Soekarno dianugerahi gelar pahlawan nasional, menyatakan jihad fi sabillilah atau berjuang biasa membela RI yang baru saja diproklamasikan melawan Kerajaan Belanda. Jadi benar-benar aktip dalam bidang politik. Demikian pun dalam konsolidasi RI sesudah pengakuan RI oleh dunia internasional, khususnya dalam pergulatan melawan PKI, semua kiai dan rohaniwan Indonesia jelas aktip dalam bidang politik.

Dan kini Uskup Belo dikecam dengan alasan bukanlah tugas rohaniwan Katolik berpolitik. Mengherankan. Dalam pandangan Islam, berpolitik, juga oleh rohaniwan Islam atau kiai, wajar saja bahkan sering keharusan, karena di bawah kolong langit ini tidak ada satu bidang kehidupan satu pun yang di luar aktivitas Islami, termasuk karya politik. Sebetulnya dalam kalangan Katolik sama saja. Dengan argumentasi, bahwa wilayah politik pun termasuk dalam aktivitas manusia normal manusiawi, dan bahwa (istilahnya) Kerajaan Tuhan melawan kerajaan kegelapan dipergulatkan dalam medan politik juga. Maka sebetulnya amat anehlah bagi saya heboh mengenai sikap Uskup Belo membela rakyat kecil Timtim. Atau sama sekali tidak aneh bila dilihat konteksnya. Tetapi marilah kita dengan pikiran dingin (hati bolehlah panas, maklumlah orang Nusantara) membincangkan masalah ini secara obyektip. Sebisa mungkin.

Politik dan Politik

Memanglah ada dua paradigma dan pengARTIan dasar politik. Yang pertama lebih terkenal dan biasanya dikira satu-satunya, yakni politik dalam aspek kekuasaan. Penyelenggaraan kekuasaan, pemilihan, pertahanan, perebutan, penikmatan, pelestarian, status-quo kekuasaan dst., pendek kata segala yang menyangkut power atau might, kekuasan (PK). Termasuk kekuasaan mental, spiritual, rohani, agama, yakni yang berciri pemaksaan atau hegemoni kehendak oleh pihak yang lebih kuat kepada yang nisbi lemah. Lazimnya khalayak ramai mengartikan politik melulu dalam arti pertama ini. Sehingga ada ucapan yang terbang di mana-mana: "politik itu kotor."

Namun bagi orang terpelajar ada politik berparadigma ke-2 yang sebenarnya lebih asli dan otentik, bisa ilmiah tetapi dengan praksis, ataupun sesuai kodrat alam manusia dan masyarakat, (tetapi kurang terkenal populer) yakni politik dalam arti: segala usaha demi kepentingan dan kesejahteraan umum. Jasmani rohani. Bukan untuk kepentingan golongan saya atau faksi dia atau partai itu atau umat agama tertentu, akan tetapi demi kepentingan dan kesejahteraan umum, semua warga, bahkan universal semua bangsa, tanpa pandang siapa dan golongan, partai, ras, agama atau ideologi tertentu. Jadi kesejahteraan dalam arti luas, misalnya sila ke-2, kemanusiaan yang adil dan beradab, sila ke-5, keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Juga demi perdamaian, kemerdekaan dan nilai-nilai moral, kebenaran, dsb. Demi tata hidup bersama yang menanamkan kerukunan dan persaudaraan, saling memekarkan dan yang membangun iklim budaya mulia, budi pekerti tinggi, yang menyemarakkan keindahan seni serta citarasa yang budiwan, yang memupuk kesetiakawanan dan menumpas egoisme, individualis maupun kolektivisme yang mencekik serta penghapusan hukum rimba survival of the fittest, dsb. dst. dst. Ini politik dalam arti asli kodrat alami, demi kehidupan dan penghidupan bersama yang sejahtera umum atau politik dalam dimensi moral (dan iman). (PM).

Pasti Anda sepaham, bahwa selayaknya dan sewajarnya rohaniwan itu jangan ikut main dalam medan politik kekuasaan (PK) yang sering kali memang kotor, akan tetapi justru harus intensif dan memberi teladan dalam politik sejahtera umum yang berpijak pada moral dan iman (PM). Jadi politik yang dilarang bagi rohaniwan, paling sedikit yang Katolik, yang dimaksud oleh Menlu RI Alatas dan Menlu Vatikan mengenai Uskup Belo itu, ialah PK dalam arti pertama tadi. Tetapi dalam PM Uskup Belo tidak hanya boleh, tetapi wajib dan diharuskan aktif. Dan memang ini adalah pegangan umum bagi semua pastor, biarawati, biarawan, uskup, kardinal bahkan paus sekali pun dalam Gereja katolik. Dalam Islam saya kira hampir sama juga.

Dan memang Nabi Isa mengajar para penganutnya demikian. Jangan pakai pedang, tetapi lewat kebenaran, iman, harapan, cinta kasih. Karena yang didambakan masyarakat umum yang normal sejati, apalagi yang berkeTuhanan, berPancasila, akhirnya dan akhirnya justru inilah, tata negara dan masyarakat yang berpijak pada moralitas dan etika fair play (serta iman) dalam arti luas di atas.

Jadi Menlu Ali Alatas dan Menlu Vatikan amat benar: rohaniwan jangan main dalam PK. Tetapi Uskup Belo amat benar juga. Sebab, yang dibela aktip oleh Uskup Belo ya justru dimensi PM tadi. Dan ini diakui Pak Alatas: "kami (RI) mengakui hak Uskup Belo membela hak-hak azasi manusia serta hal-hal kemanusiaan lain." Justru di sinilah perjuangan Uskup Belo: membela hak-hak azasi manusia, keadilan, kemanusiaan, moralitas seumumnya dsb. termasuk juga yang menyangkut tingkah laku aparat bersenjata RI terhadap penduduk Timor Timur selama 21 tahun berkenalan dengan aparat RI. Atau sebutlah oknum-oknum RI. Itulah yang dihargai oleh Panitya Hadiah Nobel, civil courage dalam politik moral (dan akhimya iman). Bahwa Uskup Belo dipersalahkan karena "masuk dalam bidang politik," nah ini saya kira, karena masyarakat umum mengartikan politik melulu hanya eksklusip dalam artian politik kekuasaan.

Demikian pun Hadiah Nobel Perdamaian tidak untuk mereka yang memperjuangkan kekuasaan pihak sini atau situ. Istilah perdamaian (pax, peace) di kalangan Nobel maklumlah luas. Seperti yang saya uraikan di atas, meskipun tentu saja menyinggung accidental wilayah PK. Tetapi esensial selalu dalam wilayah pengertian politik moral (PM) di atas. Tidak hanya perdamaian politis (moral) saja seperti yang diperjuangkan Yasser Arafat, Yithzak Rabin dan Shimon Peres, atau pasangan Menlu USA Kissinger dan Menlu Vietnam (Nama lupa) yang bersama-sama menemukan jalan selesainya perang Vietnam; atau oleh ilmuwan nuklir Zakharov yang merintis persaudaraan antara para ilmuwan Rusia maupun Amerika demi terhindarnya malapetaka mengerikan perang dengan puluhan ribu roket berkepala nuklir. Tetapi juga seperti Uskup Tutu di Afrika Selatan Apartheid, Aung San Suu Kyi, atau Rigoberta Minchu yang bergerak demi hak-azasi kemerdekaan mengeluarkan pikiran (sesuai UUD 45 ps 28), keadilan bagi kaum tertindas, demi nilai-nilai moral, perlawanan terhadap segala bentuk fasisme, kekerasan, penindasan serta kesewenang-wenangan, perlakuan tidak manusiawi dll. dsb. Dengan syarat TANPA KEKERASAN.

Banyak orang Barat menuduh Arafat dan orang Timur mengutuk Yithzak Rabin dan Shimon Peres memakai metode meriam atau terorisme. Tetapi akhirnya toh tiga tokoh itu dianugerahi Hadiah Nobel untuk perdamaian, karena pada saatnya yang historis, mereka (seperti Mandela dan De Clerk di Afsel), secara spektakuler mampu menerobos dinding-dinding baja perang dan membuang peluru-peluru kekerasan mencari perdamaian.

Begitu juga apa yang dijasakan oleh Uskup A. Soegijapranata dan para kiai Islam pada Zaman revolusi dan selanjutnya itu amat terkait dengan perjuangan politik pemerdekaan bangsa Indonesia dari Kerajaan Belanda, jadi ACCIDENTAL KEBETULAN masuk bidang politik kekuasaan, tetapi ESENSIAL SUBSTANSIAL demi pembelaan nilai moral universal dan Mukadimah UUD 45, khususnya sila ke-2 dan ke-5, the right of self-determination manusia-manusia yang terbelenggu oleh penindasan dan penghisapan, jadi esensial politik moral.

Mampukah kita sesekali melihat Timtim tidak dari sudut PK tetapi dari sudut PM juga? Dan yang paling sulit: dari pandangan manusia Timor Timur? Dalam bahasa Jawa: dengan hati yang tepo-seliro terhadap penduduk Timtim yang paling biasa, paling dina, paling miskin, paling kebanyakan? Penduduk sebagai manusia apa-adanya-mereka, dan bukan sebagai subyek atau obyek PK Pembangunan atau anti Komunis atau bujet sekian miliar, melainkan sebagai manusia Timtim, kami tekankan: memandang manusia secara manusiawi? Kalau belum bisa, ya maafkan, sebaiknya sementara berhenti saja jangan membaca terus tulisan ini. Lebih baik ikut-ikutan emosional menyalahkan Uskup Belo saja. Namun menyalahkan Uskup Belo artinya menyalahkan rakyat dina, lemah, miskin, yang terbanyak di Timtim. Sama saja dengan: menyerang Gus Dur artinya menyerang seluruh NU. Maka esei ini sebetulnya juga hanya tertuju kepada pembaca yang dapat tepo-seliro dengan rakyat dina, lemah, riskin, kebanyakan di mana-mana. Yang sanggup menghayati empati dan simpati kepada rakyat kecil yang menderita, the underdogs istilah Inggrisnya. Lepas dari kerangka PK.

Lho, mosok rakyat Timtim menderita? Jujur saja jawabnya: ya, amat sangat, terlalu, terlampau menderita. Menderita apa? Ya, mestinya Anda melihat sendiri dengan dua bola mata sendiri, mendengar dengan dua telinga sendiri, dan . . . dengan hati yang beriman. Atau mendengar sendiri kesaksian (bisik-bisik) para pegawai sipil RI yang pernah bekerja di Timtim, yang masih jujur dan bisa dipercaya, bahkan kopral, sersan yang pernah bertempur di sana dan tidak tahan menyimpan segala beban rahasia di dalam hati lalu bercerita kepada keluarga dan tetangga, apa yang mereka lihat atau dipaksa harus kerjakan di bawah perintah, dengan segala konflik batin yang luar biasa. (Ternyata yang menderita bukan saja orang-orang Timtim, tetapi juga orang-orang RI kita sendiri). Barulah Anda akan sadar, betapa berat dan mendalam kedukaan dan sakit hati rakyat Timtim selama 21 tabun ini. Baru Anda paham, mengapa Uskup Belo mendapat Hadiah Nobel perdamaian. Tetapi memang, Anda harus membedakan eksak dan tajam antara PK dan PM tadi. Dan merefleksi tidak dari sudut tafsiran orang-orang gede di Jakarta, tetapi dari sudut pandang rakyat biasa Timtim, terutama yang dina, lemah, miskin, tak berdaya. Tetapi ini memang amat sulit sekali, saya tahu. Dan dilarang.

Susahnya, di media massa saya pun tidak boleh bercerita apa yang sebenarnya terjadi di sana, yang sara LIHAT sendiri dan DENGAR sendiri dari bisik-bisik penduduk asli Timtim, para pegawai RI dan kopral, sersan ABRI sendiri. Mungkin hanya ini sajalah, yang toh substansinya sudah terbuka menjadi pengetabuan umum seluruh dunia. Yakni bahwa 1974 menurut penyelidikan DR G.J. Aditjondro, jumlah penduduk Timtim 688.771. Tahun 1978 tinggal 329.271 orang.

Tulisan inipun tak bisa dimuat media massa nasional, dan muncul di internet. Ditulis pada pertengahan November 1996.


INTR0SPEKSI 



HADIAH Nobel Perdamaian hari-hari pertama banyak mendapat reaksi bernada geram emosional. Dapat Dipahami. Sangat manusiawi. Terpilihnya Uskup Belo seumumnya dapat diterima meskipun suara tidak setuju ada juga. Hanya satu dua yang berani terus terang mengatakan gembira dan bangga. Tetapi bahwa Ramos Horta dipilih juga sejajar dengan Uskup Belo, nah ini membuat kebanyakan dan kita termasuk saya terkejut.

Namun, sekarang sudah kurang lebih seminggu lewat. Mudah-mudahan emosi sudah mereda dan kita bisa membeningkan naluri budi. Sila ke-2 kita kan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Adil artinya melihat juga posisi kedua atau ketiga belah pihak. Jangan hanya didasari suka tak suka dan dilihat dari kacamata pihak sini saja. Right or wrong my country, slogan perdana menteri kolonial Inggris abad ke-19, sudah kadaluwarsa. Beradab, artinya dengan hati bersih, pikiran bening serta sikap ksatria berbudaya fair play. Dan terpelajar juga.

Pertama,
Yayasan, Panitya dan Juri Hadiah Nobel (YPJHN) pun manusia-manusia. Bisa salah. Tetapi harus diakui, mereka bukan kaum manipulator, tukang rekayasa atau berkebiasaan serba subyektip like dislike. Pengujian kritis, moral, dan rasa keadilan mereka tinggi. Mengingkari itu atau mencurigai YPJHN pasti justru senjata makan tuan yang melumpuhkan kita sendiri. Kita akan terisolasi di seluruh dunia dan dicap berkadar moral rendah . Juga oleh sahabat-sahabat penduduk ASEAN pun. Kecewa dan merasa terpukul boleh saja, tetapi sudilah jangan menyerang YPJHN dengan argumentasi-argumentasi yang tidak bermutu atau emosi belaka, bahkan menjurus fitnah. Nanti digeleng-gelengkan kepalai karena kita mengukur orang lain dengan baju kita sendiri. Lalu di mana dapat menyembunyikan wajah nanti di dalam pergaulan global?

Kedua,
bahwa selalu ada aroma udang politik di dalam segala keputusan juri intemasional apa pun tidak perlu kita ributkan. ltu biasa. Asal tidak frontal melawan hati nurani atau sila pertama, ke-2, dan ke-5 dari Pancasila. Polandia Komunis dulu marah ketika Walesa mendapat hadiah Nobel Perdamaian dan melarangnya pergi ke Stockholm. Istrinya yang mewakilinya. Sama halnya dengan Afrika Selatan Apartheid ketika Uskup Desmond Tutu dihadiahi Nobel Perdamaian. Rusia Soviet juga naik pitam dan melarang Boris Pasternak menerima Hadiah Nobel Sastra, karena dia anti tirani komunis dst. dst. Jika kita bersikap sama dengan mereka, malahan nanti dianggap bukti bahwa ada sesuatu pada diri kita yang tidak bersih. Apa kita mau disejajarkan dengan Rusia Soviet atau Polandia Komunis atau Afrika Selatan rasis?

Ketiga,
Dunia Barat dari sudut apa pun liberal. Liberal ada buruknya tetapi banyak baiknya juga. Mosok di dunia ini yang baik dan benar hanya ada di Indonesia. Hal baik dari iklim liberal (di samping buruknya) ialah terjaminnya kemerdekaan berpikir, berpendapat dan berekspresi. Yayasan Nobel tidak disensor pemerintah atau konglomerat atau kekuasaan politik mana pun. Orang-orang Swedia cukup netral dan sistem mereka tidak kapitalistis tega tulen, bahkan digolongkan sosialis humanis, yang elan demokrasi dan emansipasi manusia amat dihargai. Tidak ada yang sempurna di dunia, tetapi YPJHN sangat independen dan cara kerjanya amat kritis menuntut kesaksian, dokumentasi, bukti-bukti penyelidikan, check rechecking dan pertimbangan yang amat berat, sehingga integritas dan obyektivitas mereka sangat dihormati civitas academica. Meskipun tentu saja gading selalu ada retaknya, dan hanya Tuhan yang Maha obyektip. Apakah kita sendiri tidak sering terlalu subyektip juga?

Argumentasi politik untuk mendiskreditkan YPJHN sungguh salah alamat jika yang dimaksud ialah politik kekuasaan, siapa kalah siapa menang. Tetapi ada politik lain dalam arti sesungguhnya dan lebih asli, yang tidak bergerak dalam dimensi kekuasaan atau menang-kalah, yakni perjuangan (seperti yang disebut dalam Pancasila) demi kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat; dalam kasus Nobel, rakyat semua bangsa, suku dan minoritas pun, tanpa pandang ras, agama, golongan dsb. Demi kemajuan ilmu dan budaya sikap. Demi emansipasi dan anti kekerasan, anti tirani anti fasisme dan kejujuran, rekonsiliasi, perdamaian, kemerdekaan, keadilan sosial, kemanusiaan, demokrasi, perlindungan si dina, lemah, miskin dsb. Nah dalam hal-hal politik dalam arti terakhir itulah YPJHN di Stockholm adalah (salah satu, bukan satu-satunya) kewibawaan yang bermartabat tinggi. Tentu saja mereka pun manusia yang dapat keliru dan memerlukan kritik.Tetapi itu tergantung kita juga. Oleh karena itu.

Keempat,
sudilah maklum YPJHN hanya menilai calon yang diusulkan resmi serius oleh perorangan dan atau lembaga yang independen dan berwibawa dengan disertai alasan-alasan ilmiah, dokumentasi, serta kesaksian banyak pihak dan tokoh bermartabat/berwibawa juga dalam bidang bersangkutan. Dengan kata lain, lewat pengujian dan lobby kritis resmi maupun pribadi. Maka saya yakin, seandainya ada dari pihak Indonesia atau luar negeri yang mengusulkan Pak Ali Alatas yang amat berjasa dalam soal Kamboja dan Moro misalnya, pasti beliau akan mendapat hadiah Nobel Perdamaian. Soalnya hanya, apakah ada dari pihak Indonesia, Lemhamnas, atau Komnas HAM, atau universitas atau tokoh bermartabat tinggi kita di sini, di Perwakilan PBB atau di mana saja, yang resmi mengusulkan Ali Alatas selaku calon peraih Hadiah Nobel? Lengkap dengan dokumentasi, rekomendasi, dan segalanya yang meyakinkan YPJHN? Kalau tidak ada, jangan hendaknya menyalahkari YPJHN. Di dunia internasional prosedur, pengaruh academic society, pers, radio, TV, lobby, dan jangan lupa desakan para LSM dan lembaga-lembaga swasta, sangat menentukan.

Mengenai Uskup Belo, Pak Ali Alatas sendiri fair menilai: logis beliau dipilih. Tetapi rupa-rupanya lobby pro Ramos Horta lewat Portugal dan beberapa negara Afrika serta LSM-LSM internasional amat banyak, rajin tanpa henti dan pintar mampu meyakinkan YPJHN. Lobby memang penting. Tetapi lebih penting ialah argumentasi, sebab YPJHN bukan segerombolan orang bodoh.

Dengan kata lain, lobby Indonesia perlu diperbaiki kalau hal-hal yang tidak diinginkan perlu dicegah. Tetapi lebih penting ialah kualitas perangkat argumentasi dan pembuktian praktis di lapangan, karena semua di-check. Memang akhirnya YPJHN-lah yang bertanggungjawab atas terpilihnya Ramos Horta (atau Yayasan Magsaysay dalam kasus Pram) tetapi kegigihan lobby dan kredibilitas empirik argumentasi KITA ikut menentukan juga.

Kelima,
khususnya dalam dunia sastra terasa sangat, bahwa semua karya yang belum diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau yang diakui sebagai bahasa internasional (praktis Barat) memang tipis harapan untuk mendapat Hadiah Nobel. Ini bisa disebut Eropa atau Amerikasentris tetapi apa-boleh-buat-mau-apa memang seluruh aspek ipoleksosbud kehidupan di dunia ini masih Eropa atau Amerikasentris. Kita boleh saja memaki-maki, tetapi apa gunanya. Susastra kan dicipta tidak untuk meraih hadiah, meski Nobel sekalipun. Prestasi bidang fisika, kimia, ilmu kedokteran, ekonomi, perdamaian dst. pun dapat kita tingkatkan. Dengan atau tanpa ambisi mendapat Hadiah Nobel.

Dan jika Pramoedya Ananta Toer yang diusulkan Prof. Teeuw yang jelas berwibawa dan bermartabat dalam bidang susastra Indonesia, agar mendapat Hadiah Nobel, ya sudilah jangan marah bila beliau memilih Pramoedya Ananta Toer, dan bukan misalnya Sapardi Djoko Damono atau Ahmad Tohari. Mestinya ada seorang profesor atau pakar susastra Indonesia yang mengusulkan penulis lain kepada YPJHN kalau Pak Pram tidak disukai. Kalau tidak ada, ya lebih baik introspeksi dan koreksi diri.

Keenam,
dunia Eropa dan Barat seumumnya sejak Atlantic Charter mengakui dan berusaha (meski tidak selalu serius) untuk membela the right of self-determination bagi segala bangsa, suku dan golongan sampai yang minoritas Indian sekalipun. Bahwa Barat masih munaflk dan berstandar ganda, tentang itu semua orang, juga orang Barat, tahu. Tetapi seburuk-buruk mereka bangsa-bangsa yang cerdas, dinamis, generasi mudanya cepat belajar dan mudah berubah sikap bila sadar bahwa apa yang mereka anut dan kerjakan tidak rasional, tidak bermoral dan melawan prinsip-prinsip HAM atau misalnya Atlantic Charter bikinan mereka sendiri.

Negara Indonesia jaya melawan Kerajaan Belanda dan kemerdekaannya diakui oleh dunia Barat itu juga antara lain karena iklim Atlantic Charter cerdas dimanfaatkan maksimal oleh Soetan Sjahrir, Mohammad Roem, Soekarno-Hatta dan jangan lupa Jenderal Soedirman. Nah begitu pun sekarang oleh Ramos Horta dalam situasinya, biar pun RI menyatakan mayoritas penduduk Timtim pro integrasi. Bagi pemerintah Indonesia masalah Timtim sudah jelas dan tidak dapat ditawar. Tetapi bagi Barat bahkan beberapa negara Afrika yang mendukung the right of self determination masalah Timtim masih belum final seperti kasus Goa di India.

Demikianlah otomatis iklim dekolonisasi global pasca Perang Dunia II, apalagi pasca Perang Dingin, yang bersimpati kepada siapa pun yang dianggap membela the right of self determination amat mudah mendapat dukungan moril masyarakat sana. Dan di sana pendapat masyarakat , tidak seperti di Indonesia, tidak mungkin disuruh sama, sebangun, identik dengan politik pemerintah. Di sini lagi diplomasi, strategi informasi dan lobby sangat menentukan. Pak Alatas sudah berjuang maksimum dan mati-matian. Untuk itu beliau pantas mendapat bintang Mahaputera Kelas Wahid, akan tetapi kan pubic opinion masyarakat dan negara sana dan sono itu sikapnya ya sana dan sono. Tidak bisa-ditatar P4.

Ketuju,
tidak ada gunanya bagi kesebelasan sepak-bola yang sial kecolongan memaki-maki wasit atau kesebelasan lawan. Yang penting tepat ialah memperbaiki strategi, taktik dan keterampilan permainan. Hanya itu cara untuk menang. Jadi jika strategi dan taktik, selama ini ternyata toh masih belum mampu meyakinkan lembaga yang swasta pun seperti YPJHN tentang Timtim, apalagi PBB, maka mungkin kita harus belajar dari dunia sepak-bola. Kita sadar bahwa pemerintah tidak sama dengan klab sepak-bola, namun apakah beberapa pengandaian dasar tentang argumentasi dan pihak Indonesia DAN kenyataan EMPIRIK di lapangan Timtim sungguh bebas kelemahan dan efektip marnpu meyakinkan pengamat integer? Ini perlu diteliti para politikus profesional yang realis dingin dan pakar psikologi world public opinion yang tidak bermental cuma ABS (asal bapak senang, res.). Mengapa Ramos Horta dihormati dengan penghargaan begitu tinggi? Apa hanya karena YPJHN atau PBB atau World opinion tidak paham situasi Indonesia? Tidak paham atau tidak setuju? Karena apa.

Dapat dikatakan 90% orang Barat tidak suka Yasser Arafat karena ia diperkenalkan oleh lobby kuat sebagai penyebar dan pelindung terorisme. Tetapi akhimya toh Yasser Arafat menerima Hadiah Nobel Perdamaian. Banyak orang Barat kecewa dan bertanya: kami tidak mengerti, mosok teroris kok diberi Hadiah Nobel Perdamaian. Sebaliknya dunia anti Israel bertanya gusar, mengapa militer seperti jenderal panser Rabin yang dulu singa perang kok juga mendapat Hadiah Nobel yang sama? Paling gampang ialah memarahi dan menggerutui YPJHN. Tetapi strategi berdasarkan amarah dan gerutu tidak pernah strategi yang baik dan betul. Generasi Indonesia 1928 dengan pribadi-pribadi besar Soekamo, Hatta, Sjahrir, Roem,Soedirman,tidak demikian.

Jawa Pos.. 21-10-1996


This page is powered by Blogger. Isn't yours?